Lihat ke Halaman Asli

Pesimisme Risma Vs Optimisme Rhoma Soal Nyapres

Diperbarui: 24 Juni 2015   01:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: ANTARA

[caption id="" align="alignnone" width="620" caption="Sumber: ANTARA"][/caption]

Oleh: Anjo Hadi

Kira-kira seminggu lamanya pasca Walikota Surabaya, Tri Rismaharini bermewek-mewek di acara Mata Najwa. “Kekejaman” Najwa Shihab dalam memperlakukan narasumbernya mungkin memang bukan hal baru, tapi tidak banyak yang terpojok secara emosional hingga menitikkan air mata.

Berbeda dari pandangan publik, bahwa Risma adalah sosok kuat dalam memimpin kota Surabaya, sang Walkot terlihat begitu rapuh. Bahkan secara kontroversial, ia blak-blakan ingin mundur. Suatu sikap yang kemungkinan besar tidak disukai PDI-P karena dari sudut profesionalisme kader, ini terkesan menodai citra sang Partai, terlebih kini PDI-P yang harus bersusah payah meredam segala isu konflik internal.

Ketika ditanya soal kans menjadi Presiden, Risma (tidak seperti Jokowi yang menggantung wacana) dengan tegas menyatakan tidak mau menjadi Presiden meski Najwa menunjukkan tingginya elektabilitas Risma dalam berbagai survey.

“Saya tidak tertarik menjadi presiden, jadi wali kota saja sudah susah. Apalagi menjadi seorang presiden yang dengan tanggung jawab yang sangat tinggi,” ucapnya di tayangan Mata Najwa.

Pesimisme Risma jelas membuat banyak orang garuk kepala. Ucapan ini keluar dari pemenang piala Adipura 2011-2013. Di tingkat internasional, ia sudah diakui dengan meraih ASEAN Sustainable City Award 2012 dan juga meraih dua penghargaan FutureGov Awards 2013, menyisihkan 800 kota dari negara-negara maju kawasan Asia Pasifik. Media asing seperti Huffington Post juga membuat artikel khusus mengenai dirinya.

Ada yang menarik untuk dicatat. Risma hidup di jaman era reformasi, dimana semua orang yang mikir mampu jadi Presiden bisa maju. Banyak orang dari kalangan selebriti yang berlomba-lomba mulai dari mengincar kursi legislatif hingga kursi kepresidenan. Banyak yang berpikir kepopularitasan sudah cukup sebagai syarat untuk memimpin dan melayani Indonesia. Namun ketika ditanya visi/misi dan ditanya solusi mengenai suatu masalah, yang keluar hanyalah kegagapan dan kebingungan.

Berbagai figur seperti Rhoma Irama dan Farhat Abbas dengan optimisnya mendeklarasikan diri sebagai capres alternatif. Yang satu merasa bahwa lirik-lirik lagunya sudah cukup jadi modal dasar pemersatu bangsa. Mungkin bang Rhoma terinspirasi lagu Dangdut is The Music of My Country - Project Pop sehingga dianggapnya seluruh rakyat Indonesia suka dangdut dan mendengarkan musik ini. Satu lagi merasa sebuah sumpah pocong dapat menyelamatkan Indonesia. Hmm...kalau sumpah pocong dapat menghilangkan kasus korupsi, buat apa kita butuh KPK dan menggaji Abraham Samad, Johan Budi dan kawan-kawan? (Ehm...sekali lagi saudara-saudara, kasus korupsinya yang hilang, bukan korupsi-nya.)

Ada pesan yang dapat dipelajari dari pesimisme bu Risma. Tanggung jawab itu bukan hal main-main. Bukan pula sebuah wacana mencari popularitas dengan melempar segudang janji tanpa implementasi. Dibalik kesuksesannya, bu Risma membayar semuanya dengan luka emosi yang selama ini tidak tercium media...ketika semua spotlight tengah mengarah pada pasangan Jokowi-Ahok.

Selain kemampuan tata kota dan pengayoman terhadap warganya, dibutuhkan kedewasaan mental ketika berhadapan dengan political nemesis-nya. Dan sekarang kita bicara soal capres? Hadoooh...gila yah situ. Ckckckkckck....

Suatu templakan berat bagi mereka yang sekarang nyapres dan membangun popularitas hanya dengan kontroversi SARA dan pembubaran MK. Dan sungguh amat murah jabatan kepresidenan bila ada capres yg membangun popularitas dengan drama sinetron: Anak Yang Tidak Diakui, Di Ring Tinju Kau Kutunggu dan Ceraikan Daku. (Sounds familiar? Nantikan tayangan episodenya di program infotainment kesayangan anda).

Pesimisme Risma menghasilkan dukungan masif sampai-sampai ibu Risma masuk dalam Trending Topic di Twitter. Partai PDI-P yang relatif diam dengan manuver politik kader partai-nya di DPRD kini mulai melihat “nilai jual” bu Risma dan langsung pasang badan untuk kader yang konon katanya tidak punya kartu keanggotaan PDI-P. Tak hanya itu, Partai Gerindra yang selama ini menjadi “sahabat politik” disebutkan ingin “menculik bu Risma dari rumah banteng merah” untuk disandingkan dengan Prabowo. (Aih...cinta segitiga...so sweet.)

Sedangkan optimisme Rhoma maupun Farhat justru berbuah hujatan. Semakin besar kapalnya, semakin besar badainya (ehm, katanya sih....). Khusus Rhoma, sang kesatria bergitar semakin percaya diri dan gencar melakukan sosialisasi pencapresan ke pelosok-pelosok, meski PKB yang digadang Rhoma mendukung 100% pencapresannya kini masih bermain tarik ulur dan tidak berjanji apa-apa dengan Rhoma.

Tapi singkat cerita, kita tahu kalau sang raja dangdut nyapres karena desakan bukan pribadi, apalagi yang mendeklarasikan itu ulama. Sekalipun di PKB, harus bersaing dengan figur Jusuf Kalla dan Mahfud MD, pasti dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa, impian ini akan terwujud. Iya kan? Iya kan?

Apalagi menurut internet (sumber tervalid di jagad semesta di mata bang Rhoma), kepopuleran sang mubaligh terbukti tiada duanya.

Jusuf Kalla pernah bengalaman sebagai Wapres dan mendamaikan konflik Ambon melalui deklarasi Malino. Mahfud MD menjalani masa jabatan yang bersih dari korupsi sebagai hakim MK. Namun rekam jejak itu tetap tidak membuat gentar bang haji dengan segudang prestasi..........erhm.....ah pokoknya percayakan nasib bangsa ini 5 tahun kedepan di tangan kesatria bergitar!

Anda Mungkin Tertarik Membaca:

1. Mengapa Wacana KRI Usman Harun Rugikan Indonesia

2. Belajar Dari Macau, Tak Selamanya Nasionalisasi Jadi Solusi

3. Kasus Atut, Alasan Wanita Harus Lebih Dipersulit Dalam Politik

4. Israel Palestina 1948 FAQ

5. Hah? Australia Bantu Indonesia Merdeka!




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline