Lihat ke Halaman Asli

Anjel Way

Mahasiswa

Hubungan Sastra dan Politik

Diperbarui: 13 Desember 2024   19:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Sastra dan politik, meskipun berasal dari ranah yang berbeda, memiliki hubungan yang saling terkait. Sastra adalah bentuk ekspresi kreatif yang menggunakan bahasa sebagai medium untuk menyampaikan ide, emosi, dan cerita. Sastra tidak hanya berfungsi sebagai hiburan, tetapi juga sebagai cerminan kehidupan sosial, termasuk dinamika politik. Melalui sastra, pengarang sering kali mengangkat isu-isu yang relevan dengan zamannya, seperti ketidakadilan, kebebasan, dan identitas.
Kedua konsep ini bertemu ketika sastra digunakan untuk mengkritik, merefleksikan, atau bahkan memengaruhi situasi politik. Sastra sering kali menjadi wadah untuk menyuarakan suara-suara yang terpinggirkan, mencerminkan kondisi sosial-politik, atau membayangkan dunia yang lebih ideal. Dengan kata lain, sastra dan politik sama-sama memiliki kekuatan untuk membentuk cara kita memahami dunia dan mengubahnya.
Sastra sering kali berperan sebagai cermin yang merefleksikan dinamika sosial-politik pada masa tertentu. Karya sastra tidak lahir dalam ruang kosong; ia tercipta dari pengalaman, pengamatan, dan pemahaman pengarang terhadap kondisi masyarakat di sekitarnya. Dengan demikian, sastra menjadi rekaman tak langsung dari berbagai isu politik, konflik sosial, hingga perjuangan ideologi yang berlangsung di suatu era.Sastra memiliki kemampuan untuk mengangkat isu-isu politik, seperti ketidakadilan, korupsi, atau tirani, dan menyampaikannya dengan cara yang menggugah emosi serta memprovokasi pemikiran. Berikut adalah beberapa karya sastra terkenal yang merefleksikan masalah-masalah tersebut:


1. Tirani: 1984 oleh George Orwell
Novel ini menggambarkan sebuah dunia dystopia di mana pemerintah totalitarian mengontrol setiap aspek kehidupan individu, termasuk pikiran mereka. Dengan konsep seperti "Big Brother" dan "thoughtcrime," Orwell menunjukkan bagaimana tirani dapat menghancurkan kebebasan dan martabat manusia. Karya ini tetap relevan sebagai peringatan terhadap bahaya otoritarianisme dan pengawasan pemerintah yang berlebihan.
2. Novel pertama dalam Tetralogi Buru ini mengisahkan perjuangan Minke, seorang pribumi berpendidikan, melawan ketidakadilan yang dilakukan oleh kolonialisme Belanda di Indonesia. Melalui cerita ini, Pramoedya mengangkat isu diskriminasi, kebebasan individu, dan pentingnya pendidikan dalam melawan penindasan.
Setiap karya ini, dengan caranya masing-masing, menjadi cermin dari berbagai bentuk penindasan, eksploitasi, dan ketidakadilan yang sering terjadi dalam sistem politik. Dengan membaca karya-karya ini, pembaca dapat memperoleh wawasan yang lebih mendalam tentang bagaimana politik memengaruhi kehidupan manusia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline