Belajar agama bukan hanya soal menuntaskan lembar demi lembar kitab, tapi soal menyerap hikmah yang terselip di antara baris-barisnya.
Bagi saya yang hanya melewati jalur pendidikan formal dari SD hingga perguruan tinggi alias gak mondok. Bisa dibilang ilmu agama yang didapat masih sebatas kulit. Apalagi, seringkali justru muncul rasa percaya diri tinggi untuk menyampaikan ajaran Islam meskipun hanya berdasar pengetahuan dangkal. Bahkan yang muncul hanyalah dorongan ego belaka.
Sekitar akhir tahun 2015-an, saya mendapatkan momen langka untuk sowan ke pesantren Darussalamah yang dipimpin Ustadz Buwono. Di sana, saya bertemu dengan sosok yang kharismatik, Abah Yai Mustafid bin KH. Munawwir Sholeh. Selain Alim, beliau telah membesarkan pondoknya sejak 1982.
Ada berbagi wejangan yang membuat saya tertegun. Saat bercakap santai di halaman masjid, Mbah Yai mengingatkan kami tentang pentingnya tidak menyerah dalam mencari ilmu melalui guru-guru pesantren.
Dengan caranya yang khas, Mbah Yai berbagi kisah yang seolah mengajak kami menjelajah waktu. "Saya mendirikan pondok ini sejak tahun 1982, berarti sekarang sudah 33 tahun," ujar beliau.
Dari awal yang penuh keterbatasan, hanya berbekal sarung, satu setel pakaian, dan kitab Taqrib, beliau menyusuri rel Kereta hingga berhenti di Krian. Dalam ceritanya, ia mendengar lantunan ayat suci Al-Quran dari pengeras suara, beliau tergerak hatinya untuk berhenti dan mencari sumber suara itu. Teringat sabda Nabi bahwa ada yang membaca Al-Quran namun hanya memperoleh laknat darinya. Lantas Gus Tafid muda itu mendatangi langgar tersebut. Kemudian berbicara dengan orang yang membaca Quran dan menawarkan diri untuk mengajar. Dari sini, cikal bakal pondok Darussalamah di Katerungan bermula.
***
Setelah bercerita tentang masa-masa awal mendirikan pondok, tiba-tiba Mbah Yai membelokkan arah pembicaraan. Dengan gaya santainya, beliau memberikan ilustrasi tentang “hitungan duniawi” yang menggugah. Buat kami, lulusan kampus yang terbiasa mengukur sukses dengan gaji besar dan rumah megah, beliau memberikan perspektif yang berbeda.
“Wes, saiki ngene…” Mbah Yai memulai dengan nada berwibawa namun bersahaja.
"Apakah ada orang yang nggak kerja di kantor, nggak bawa lamaran kerja, tapi Allah menjamin kehidupannya? Ono ta wong ga kerja 33 tahun iso duwe dunyo gede?"