Depresi bukan lagi topik yang tabu untuk dibicarakan, terutama di kalangan Gen Z. Data terbaru menunjukkan bahwa kasus depresi di kalangan Gen Z semakin meningkat seiring dengan tekanan hidup yang kian kompleks. Sebuah studi dari American Psychological Association (APA) menyebutkan bahwa hampir 40% Gen Z melaporkan merasa cemas atau depresi secara berkala.
Di Indonesia, laporan dari Kementerian Kesehatan tahun 2023 juga menyatakan bahwa prevalensi gangguan kecemasan di kalangan remaja dan dewasa muda meningkat lebih dari 20% dalam lima tahun terakhir.
Hal ini memicu keprihatinan mendalam, mengingat generasi ini adalah generasi yang sangat bergantung pada media sosial dan menghadapi tantangan besar, seperti tuntutan ketidakpastian ekonomi, pendidikan, dan ekspektasi karier yang semakin tinggi.
Dalam menghadapi gempuran kecemasan dan depresi ini, berbagai pendekatan telah dicoba. Salah satu cara yang mungkin kurang populer namun sangat relevan adalah praktik spiritual, seperti tarekat.
Bagi banyak orang, tarekat bukan sekadar aktivitas ibadah an sich, tetapi juga merupakan cara untuk menjaga keseimbangan mental. Praktik ini menawarkan metode untuk tetap hadir di saat ini, mengatasi kecemasan berlebihan tentang masa depan, serta melepaskan penyesalan tentang masa lalu.
Tarekat: Ketenangan di Tengah Kegelisahan
Tarekat, yang secara harfiah berarti “jalan”, merujuk pada praktik spiritual yang melibatkan amaliyah ibadah dan dzikir khusus yang dibimbing oleh muqoddam (guru tarekat). Baik secara langsung maupun rohani. Sementara itu, wirid adalah bacaan dzikir yang diulang-ulang dengan tujuan mendekatkan diri kepada Allah.
Efeknya bisa membuat hati lebih tentram. Bagi mereka yang rutin menjalankan thoriqoh dan wirid, ini menjadi semacam jangkar yang menstabilkan emosi di tengah badai kehidupan modern.
Kecemasan sering kali berasal dari ketidakmampuan kita untuk berada di saat ini. Kita terlalu sibuk memikirkan kemungkinan buruk di masa depan atau meratapi kegagalan masa lalu. Tarekat, dengan fokus pada pengulangan dzikir yang konstan, membantu kita melatih pikiran untuk tetap tegar dalam dinamika hidupa.
Misalnya, ketika seseorang mengulang-ulang kalimat dzikir seperti 'sholawat' atau 'istighfar', ada proses menenangkan pikiran yang terjadi. Fokus pada dzikir ini membuat kita menghentikan pola pikir yang meloncat-loncat, mengalihkan perhatian dari kecemasan yang menghantui, dan membawa kedamaian di hati.