Lihat ke Halaman Asli

Sahabat Pendidikan

Riset and Development

Konsep Pendidikan Otentik Emha Ainun Nadjib

Diperbarui: 17 Juni 2015   07:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1430354868545943864

(Outline VRP)


"Pendidikan adalah menemani anak didik untuk mengetahui kehendak Tuhan terhadap dirinya" (Emha Ainun Nadjib)

Ketertinggalan sebuah bangsa dari bangsa lain sesungguhnya disebabkan oleh ketidakmampuan pendidikan menjawab tantangan zaman. Ketidakmampuan ini disebabkan oleh kegagalan pendidikan meletakkan pondasi yang kuat bagi pengembangan ilmu pengetahuan. Bahkan, pendidikan saat ini terkesan gamang antara memelihara tradisi atau mengejar modernisme. Selain itu, pendidikan belum memiliki kebulatan dalam memadukan antara ilmu dan agama. Pada saat bersamaan,  terjadi perubahan 'besar-besaran' yang terjadi dalam masyarakat bahkan dunia. Globalisasi meniscayakan untuk setiap individu, kelompok, bahkan agama, berpikir ulang (rethinking) terhadap eksistensinya di muka bumi ini.

Dalam rangka menunjukan eksistensinya tersebut manusia perlu proses belajar secara holistik dan seimbang. Manusia diciptakan Tuhan sebagai makhluq terbaik (ahsanul takwim). Bekal utama yang dimilikinya adalah akal dan hati. Proses belajar inilah yang melatih akal dan hatinya untuk mengetahui jati dirinya, serta peran yang dikehendaki-Nya. Proses ini merupakan basis pendidikan. Sejatinya, pendidikan adalah itu dari manusia untuk manusia, artinya hal yang mendasar yang harus dilakukan oleh segenap pelaku pendidikan adalah mencari konsep dari pendidikan itu sendiri, termasuk pendidikan otentik.

Dalam konteks bangsa Indonesia, pendidikan tidak bisa lepas dari sistem pendidikan nasional. Artinya setiap kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah pasti akan membawa dampak pada satuan pendidikan, baik lembaga formal maupun informal. Selain itu, pendidikan secara makro, masih terjebak pada problem kuantitatif yang itu sebetulnya kurang menguntungkan dari segi mutu pendidikan. Ada sebuah kebiasaan, pergantiam pejabat, khususnya menteri pendidikan, maka hampir bisa dipastikan akan adanya perubahan kebijakan (policy) yang terkait dengan penyelenggaraan pendidikan.

Dalam konteks pembelajaran, masih terjadi adanya doktrinasi dalam setiap materi pelajaran. Kegiatan belajar lebih banyak berkutat pada tingkat berpikir minimal (low order thinking), guru tugasnya sekedar menyuruh sekaligus melarang anak didiknya - tanpa memberikan kesempatan untuk belajar mandiri. Praktik pendidikan semacam ini oleh Emha Ainun Nadjib sering dikritik bahwa sekolah itu seperti pabrik yang menghendaki standarisasi produk.

Menurut Emha Ainun Nadjib, pendidikan adalah menemani anak didik untuk mengetahui kehendak Tuhan terhadap dirinya tersebut. Cara pertama yang harus ditempuh untuk mengetahui kehendak Tuhan adalah mengenal jati dirinya. Sesungguhnya Tuhan sudah memberikan seperangkat pengetahuan, begitu lahir ke dunia - ia sengaja dilupakan oleh Tuhan. Hikmahnya, agar manusia tersebut senantiasa mencari, meneliti dirinya sendiri sampai menemukan (keagungan) Tuhan. Paradigma pembelajaran yang ada hingga saat ini masih cenderung 'mengimpor' pengetahuan dari luar dirinya. Akibatnya pengembangan potensi kemampuan nalar akal dan kreativitas mengalami kemandegan. Oleh karena itu, menurut Emha pendidikan harus mengenal sangkan paran, yaitu dimana tempat berpijak dan kemana harus melangkah ke tujuan sejati.

Selain itu problem yang terjadi di dalam dunia pendidikan adalah rancunya kerangka epistemologi yang menjadi basis keilmuan yang ada. Oleh karena itu, tidak heran ketika masih banyak dijumpai adanya perdebatan seputar objek kajian dalam pendidikan. Istilah epistemologi itu sendiri mempunyai makna yang luas dan kompleks. Ia bisa dipahami sebagai ilmu yang mengkaji tentang asal usul, susunan, metode, dan sahnya pengetahuan, atau bisa juga diartikan sebagai ilmu yang membahas tentang keaslian, pengertian, struktur, metode, dan validitas ilmu pengetahuan.

Epistemologi jika dikaitkan dengan pendidikan maka ia akan bersentuhan dengan masalah kurikulum, terutama dalam hal penyusunan dasar-dasar (epistemologi) kurikulum, termasuk di dalamnya berkaitan dengan metode pembelajaran yang digunakan, dan segala proses keilmuan yang ada di dalam lembaga pendidikan.

Sedangkan pemilihan kata ‘otentik’ yang disematkan pada pendidikan merupakan harapan agar pendidikan dewasa ini kembali kepada makna yang sesungguhnya. Otentik inilah yang memandu pendidikan agar menghasilkan manusia, menurut Emha,  yang senantiasa mempelajari dirinya sendiri: dari wujud materiilnya,psiche-nya,  rohaninya. Karena kurikulum pendidikan di Indonesia saat ini menghendaki manusia tidak benar-benar mengenali diri sebagai dimensi yang lebih substansial, serta cenderung menjadi robot yang dikendalikan oleh pihak lain.

Tiga alasan mendasar pentingnya mengkaji Emha Ainun Nadjib adalah : pertama, latar belakang  ketokohannya, yaitu budayawan nasional, yang memiliki dasar pandangan yang multidimensi. Kedua, pandangan pendidikan yang revolusioner. Ketiga, kerangka keilmuannya yang komplementer. Tiga hal tersebutlah yang menjadi daya tarik tersendiri untuk mengkaji dan meneliti tentang sosok Emha.

https://www.caknun.com/2012/nyicil-simpati-kepada-setan/

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline