Lihat ke Halaman Asli

Sahabat Pendidikan

Riset and Development

Lapis Pemikiran Maiyah

Diperbarui: 17 Juni 2015   07:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14310572991571904499

(Kado buat Mbah Nun yang ke-63)

Andaikan maiyah adalah sebuah organisasi. Maka bisa digambarkan lapisan pemikiran dari jamaahnya berupa piramida. Lapisan ini berguna untuk melihat strata atau kelas yang merupakan output dari maiyah.

Bagi jamaah maiyah, ada sebuah kesepakatan dalam memandang Indonesia : Apakah yang dititipkan Allah itu Maiyah-nya atau Indonesia-nya ?. Pilihan pertama cukup sederhana, yaitu dengan mengaplikasikan nilai-nilai maiyah untuk kehidupan diri sendiri dan keluarga. Adapun untuk kemanfaatan yang lebih luas maka semampunya. Sementara Indonesia yang dalam takaran maiyah perlu untuk disayangi bangsanya, meskipun secara sistem kenegaraan mengalami 'disconection'. Jika Allah mengamanahkan Indonesia maka perlu kerja keras untuk menumbuhkan generasi baru dengan kesadaran kosmis.

Maiyah sejatinya adalah hasil pemikiran Mbah Nun. Yakni, sebuah forum yang menyatukan jamaahnya dengan Allah melalui pintu Nabi Muhammad saw. Adapun Mbah Nun dengan kerendahan hatinya, tidak mau dipandang sebagai siapa-siapa - tapi hanya sekedar ikut mengantarkan jamaahnya untuk 'nyambung' dengan 'Nur Muhammad'.

Secara garis besar, periodesasi kehidupan Mbah Nun atau Muhammad (Emha) Ainun Nadjib ini terbagi menjadi dua bagian. Periode pertama merupakan dari masa kelahiran (1953) hingga reformasi 1998. Mbah Nun dilahirkan pada lingkungan keluarga yang religius dan demokratis. Ayahnya, Abdul Latif adalah tokoh Masyumi dan Muhammadiyah. Sedangkan kakeknya, Kyai Zahid merupakan salah satu dari  murid spesial Syaikhona Kholil Bangkalan.

Mbah Nun kecil juga 'menikmati' studi melalui sekolah dan pesantren, meskipun agak 'mbeling'. Beliau juga sempat masuk satu semester di Jurusan Ekonomi UGM. Alasan keluar adalah apa yang dipelajari di bangku kuliah sudah didapatkan sejak SMA. Karena bersama saudara kandung yang lainnya, Mbah Nun membukan usaha, diantaranya pembuatan skripsi. Setelah itu dimulainya pengembaraan dengan memasuki Universitas Malioboro. Melalui sentuhan halus Umbu Landu Paranggi inilah Mbah Nun mengasah jiwa sastra. Hingga reformasi, Mbah Nun adalah tokoh yang kritis tapi dibungkus dengan kehalusan sastra. Hal itu tercermin pada tulisan-tulisannya yang lintas bidang kehidupan dan tersebar di berbagai media.

14310582901487097286

Puncak dari periode pertama ialah menuntun Presiden Indonesia ke-2, HM. Soeharto bersedia 'lengser keprabon'. Sejarah mencatat peristiwa ini dengan sebutan reformasi. Sebuah tatanan Indonesia baru yang bersih, berdaulat, adil dan makmur. Namun, tokoh dibalik reformasi ini ternyata disembunyikan oleh media apapun.

Periode kedua ditandai dengan menyatunya Mbah Nun dan rakyat dalam bingkai kebersamaan. Masa ini berlangsung dari lengsernya rezim orde baru hingga hari ini. Mbah Nun tidak masalah jika Indonesia tidak mengakuinya. Tapi yang menjadi catatan menarik, ternyata reformasi hanya bermakna 'antrian' untuk berlomba memperkaya diri sendiri melalui jalur popularitas dan power. Sehingga Mbah Nun terpanggil untuk menemani rakyat agar tidak sakit hati. Melalui Kiai Kanjeng dan berbagai majelis maiyah, rakyat senantiasa dibesarkan hatinya, dikenalkan tauhid, dan diajak 'nguri-nguri' kebudayaan masa silam.

Kiprah Mbah Nun ini lebih membumi (kultural) daripada sebelumnya yang lebih konsen dalam dunia literasi dan teater. Beliau memiliki optimisme untuk melahirkan manusia satriya yang memiliki ketangguhan dalam membangun Nusantara baru.

Dalam pergumulan maiyah ini, ternyata memunculkan tiga lapisan pemikiran. Pertama, manusia taqlid. Bahasa akademiknya adalah plagiat atau duplikasi. Kualifikasi minimal yang dimiliki  orang awam, yang tidak memiliki kesempatan mencari ilmu melalui sekolah maupun pesantren - manusia jenis ini yang penting niatnya 'ikhlas' outputnya kebaikan. Ia tidak perlu disalah-salahkan karena kemampuannya hanya sebegitu.

Kedua, manusia ittiba. Kepatuhan yang disertai akal sehat. Mereka adalah intelektual maiyah yang mampu meneliti ilmu Allah yang dititipkan kepada Mbah Nun. Posisi sentralnya tidak sekedar dipandang kharismanya tapi juga berkesempatan memetik buah ilmu dari Mbah Nun

Ketiga, manusia ijtihad. Jamaah yang mampu menyerap segala wacana dan meramunya dengan kesadaran yang utuh. Ia tidak menjadi 'follower' atau senantiasa bergantung dengan keberadaan tokoh panutan. Lapis ini merupakan  mutiara bangsa, satriya utama yang bisa diharapkan tidak saja memperbaiki tapi berani membuat tatanan Nusantara baru.

Beruntung, maiyah sampai detik ini tidak menjadi padatan organisasi sebagaimana umumnya. Sehingga dalan piramida, yang paling baik adalah elite sedangkan yang dieksploitasi adalah lapisan massa. Maiyah punya formula yang berbeda : bentuknya siklis dan sifatnya cair.

Ketiga lapisan ini bukan kelas sosial. Tapi sebuah tim besar yang memiliki tujuan bersama. Alangkah indahnya Nusantara baru yang mulai diimpikan oleh banyak orang.

Kini di usianya yang ke-63 tahun, Simbah Muhammad Ainun Nadjib tetap setia menemani bangsa Indonesia. Maturnuwun Mbah Nun.

Jumat, 8 Mei 2015

Anjaya Wibawana




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline