Lihat ke Halaman Asli

Mbah Roso Tidak Perlu Dimengerti

Diperbarui: 26 Juni 2015   14:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

[caption id="attachment_224060" align="alignright" width="300" caption="Ilustrasi/Admin (Metro Banjar)"][/caption]

Pak Lurah Johni langsung geger ketika mendengar ada seorang mantan pejabat pejuang yang hendak berkunjung ke Kampung Koming Rejo ini. Pak Lurah menduga bahwa kunjungan itu berkaitan dengan perayaan tujuh belas agustus, mengingat kampung ini dulu merupakan salah satu basis perjuangan rakyat Indonesia melawan kumpeni.

Segera saja Pak Lurah Johni memerintahkan untuk melakukan bersih kampung. Seluruh elemen masyarakat diwajibkan untuk kerja bakti : membersihkan pekarangan, merapikan tanaman, melancarkan got-got, dan mengecat kembali pagar rumah. “Kunjungan ini akan sangat istimewa. Pejabat itu masih punya pengaruh di kalangan birokrasi. Kita harus menunjukkan bahwa kampung kita ini memang kampung yang bagus dan layak dikunjungi!”. Tanpa mengerti kata Pak Lurah, semua melaksanakan perintahnya.

Namun ketika kerja bakti itu sampai di rumah Mbah Roso, semuanya terhenti. Mbah Roso menutup erat pintu rumahnya dan melarang orang-orang memasuki apalagi membersihkan pekarangan rumahnya. Mbah Roso berjalan mengeliling pekarangannya dan mengibas-ngibaskan sabitnya, sambil terus ngedumel mengusir orang-orang. Pak Lurah Johni mencoba menenangkan dan menjelaskan, tetapi selalu disangkal. Sampai akhirnya Pak Lurah Johni menyerah.

“Baiklah, atas nama nama baik kampung kita, maka kita tentukan rute kunjungan bapak pejabat itu untuk tidak melewati rumah mbah Roso. Kita tak mau kehilangan muka hanya karena pokal gawe satu orang saja. Desa ini adalah seluruh masyarakat, bukan satu orang saja.”, seru Pak Lurah Johny berapi-api. “Maka dari itu, saya tugaskan sodara Teguh untuk menyiapkan rute dan tempat penyambutan.”, lalu setengah berbisik, Lurah Johni juga memerintahkan Bintang, “Nanti tolong kamu awasi Mbah Roso, ya Dok. Aku takut dia kena gejala kejiwaan. Dokter Bintang yang ngerti masalah begituan. Aku sarankan lebih baik dia menyingkir saja dulu.”

***

Hari kedatangan akhirnya tiba. Semua sudah dalam posisinya. Janur dan umbul-umbul jadi penghias jalan. Karpet merah digelar di tempat penyambutan. Panganan-panganan yang terlezat telah disiapkan. Pak Lurah Johni pun sudah berdandan ganteng sekali. Wanita-wanita tercantik disiapkan sebagai pagar ayu.

Bintang hanya bisa mengamati persiapan penyambutan itu. Dan dia memang lebih memilih untuk mendampingi Mbah Roso. Diikutinya mbah Roso yang malah menyepi di pinggir kali dekat ujung jalan masuk ke Kampung Koming Rejo. Mbah Roso hanya menjalankan aktifitas sehari-harinya, mencari kayu bakar dan bambu muda. Tiba-tiba Bintang merasa iba. Orangtua itu seperti tersingkir dari keramaian.

Sampai beberapa jam menunggu, akhirnya rombongan itu datang. Mereka berhenti di acara penyambutan itu. Turun seorang tua lengkap dengan seragam pensiunan militer dan tongkat komando, pensiunan jendral tampaknya. Lagu Indonesia Raya langsung dikumandangkan oleh anak-anak SD yang sudah menunggu sejak tadi.

Pensiunan jendral itu celingukan. Dia mencoba mencari-cari seseorang dan malah tidak menggubris upacara penyambutan yang meriah itu. Lalu pensiunan itu marah-marah dan pergi meninggalkan acara. Anak-anak SD semakin kencang bernyanyi. Pak Lurah Johny menjadi bingung dan salah tingkah.

***

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline