Bangsa ini tengah diuji dengan cobaan berat terhadap keragamannya. Bila dahulu, keragaman menjadi lem pelekat yang menyatukan banyak orang dengan latar belakang berbeda. Kini tak jarang fitrah bangsa tersebut malah menjadi garis yang memisahkan antar golongan. Faktanya, pemaksaan kehendak terhadap suatu kelompok masyarakat untuk menjadi sama dalam hal pandangan, keyakinan, dan prinsip hidup acapkali terjadi di beberapa daerah. Kita seolah lupa jika kejayaan masa lalu bangsa Indonesia, saat masih berbentuk kerajaan, sejatinya dibangun di atas fondasi keragaman.
Untuk menggali kembali ide tersebut, tak ada salahnya kita menyiarahi warisan masa lalu. Salah satunya adalah Candi Plaosan yang menyimpan ajaran keragaman. Meski tak setenar Candi Prambanan, bukan berarti Candi Plaosan tak layak dikunjungi. Justru dengan suasana sepi, kita bisa merenungkan eksistensi candi itu. Terletak di Dusun Plaosan, Klaten, Jawa Tengah, candi ini mudah sekali dijangkau. Bahkan kita bisa menyambanginya, setelah berwisata ke Candi Prambanan karena letaknya yang saling berdekatan. Kita hanya diwajibkan membayar tiket masuk Candi Plaosan sebesar Rp5.000,00 per orang.
Melangkah 11 abad ke belakang, Candi Plaosan merupakan saksi hubungan harmonis dua agama; Hindu dan Budha. Adalah Rakai Pikatan dari Wangsa Sanjaya yang beragama Hindu dan Pramodhawardani dari Wangsa Syailendra yang beragama Budha bekerja sama untuk membangun candi itu. Suami-istri ini, meski menikah karena alasan politis saat itu, tetap dianggap memberi teladan kerukunan dua penganut agama berbeda kepada rakyatnya.
Dari segi letak, Candi Plaosan berdekatan dengan Candi Prambanan yang berukuran jauh lebih besar. Di sini, terkandung pesan toleransi di mana tempat peribadatan dua agama berbeda dapat berdiri berdampingan. Bahkan di dalam komplek Candi Prambanan itu sendiri, terdapat Candi Sewu yang bercorak Budha.
Dipisahkan oleh sebuah jalan, Candi Plaosan terbagi menjadi Candi Plaosan Lor dan Candi Plaosan Kidul. Candi Plaosan Kidul merupakan kumpulan candi-candi berukuran lebih kecil. Sedangkan, Candi Plaosan Lor memiliki dua candi induk dengan ukuran besar. Masing-masing dikelilingi 116 stupa perwara 58 candi perwara. Hanya beberapa bangunan perwara yang masih utuh hingga kini. Kebanyakan sudah lapuk dimakan zaman. Sebuah bekas bangunan mandapa dengan arca Bodhisatwa yang berbaris rapi, ditemukan di sebelah kiri candi induk bagian utara.
Tak hanya siapa pembangunnya, kerukunan diantara dua agama tersebut tercermin dalam arsitektur candi. Bila diamati, bangunan candi induk merupakan perpaduan gaya Hindu dan Budha. Gaya bangunan Hindu melekat pada badan candi yang bercirikan bentuk kubus. Sementara itu, puncak candi berbentuk genta yang merupakan ciri khas bangunan peribadatan agama Budha. Deretan candi-candi perwara yang mengiringi dua candi induk juga mengusung arsitektur keduanya. Ada yang berantap lancip serupa candi-candi Hindu. Ada pula yang berbentuk stupa khas bangunan Budha. Mereka tersusun silih berganti seolah merangkumkan pesan harmoni.
Dua candi induk berada tepat di tengah tanah lapang yang kini ditumbuhi rerumputan. Untuk memasukinya, kita perlu melalui sebuah gapura Paduraksa. Begitu melewati gapura, nampak berdiri gagah dua candi induk dengan relief indah yang menempel pada dindingnya. Relief perempuan terukir pada dinding candi utara. Sedangkan, relief laki-laki menghiasi dinding candi selatan.
Dengan relief yang menggambarkan gender berbeda ini, seolah Candi Plaosan hendak berkata bahwa manusia telah berbeda secara alamiah sejak mereka lahir. Ada perempuan. Ada laki-laki. Perbedaan ini adalah hakiki. Namun, keterpaduan diantara mereka berdua dengan peran masing-masing akan membuat hidup lebih bermakna. Memasuki ruangan candi, kita akan disambut oleh tiga arca Budha yang sedang duduk berderet di atas padmasana. Namun, sayangnya ada arca yang telah hilang dicuri.
Tempat favorit saya setiap kali berkunjung ke Candi Plaosan adalah pohon Bodhi. Terletak di pojok timur laut dari candi induk bagian utara, saya bisa duduk-duduk ngadem di bawah rindang dedaunannya. Dari titik ini, lanskap Candi Plaosan bisa ditangkap mata secara utuh. Dalam beberapa kesempatan, saat duduk di sana, sebuah renungan singkat selalu membawa saya pada pemahaman betapa jeniusnya nenek moyang kita. Mereka berupaya mewariskan pesan kerukunan kepada generasi penerus yang diabadikan melalui sebuah bangunan candi. Berkaca pada hal ini, sudah sepantasnya bila kita berupaya mewujudkan nilai itu dalam kehidupan sehari-hari.
~Salam Kerukunan~
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H