Lihat ke Halaman Asli

Menikmati Ketenangan Jiwa di Imogiri

Diperbarui: 22 Juli 2015   09:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ketika kepala sudah begitu jenuh dengan hiruk pikuk perkotaan, saatnya mengecap suasana pedesaan sebagai terapi jiwa. Beruntung sekali saya bisa mendapatkan kesempatan itu sebulan sekali di kampung halaman saya di Yogyakarta. Biasanya, akhir pekan di sana tak hanya dihabiskan untuk  berdiam diri di rumah, tetapi juga menjelajah wilayah pedesaan.  Salah satunya, Imogiri yang terletak sekitar 15 km arah tenggara Yogyakarta. Imogiri menawarkan suasana pedesaan yang masih terjaga. Berkunjung ke sana laksana mengaitkan kembali pada  akar kesukuan saya sebaga orang Jawa. Maklum , tinggal di Jakarta diakui atau tidak telah ‘menggerus’ identitas kultural saya.

Kangen selalu terasa untuk menyambangi Imogiri setiap kali pulang ke Yogyakarta.  Karena itulah,  sesekali saya sediakan beberapa jam.  Kunjungan ke Imogiri  dibuka dengan ‘ziarah’  ke  Makam Imogiri, tempat peristirahatan terakhir para raja Mataram dan dua kerajaan penerusnya; Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta, yang terletak di atas sebuah bukit. Sebenarnya sih kalau dibilang ziarah juga kurang tepat  karena aktivitas yang dilakukan  lebih banyak pada mengagumi suguhan arsitektur kuno jaman Mataram Islam dan kisah sejarah yang melingkupinya.  Untuk mencapai makam, saya bersama peziarah lainnya harus menapaki 375 anak tangga. Capek? Pasti, karena anak tangga ini cukup curam untuk didaki.  Konon, siapa  yang bisa menghitung jumlahnya dengan tepat, maka doanya akan terkabul. Ternyata banyak juga peziarah yang melakukan ritual ini secara khusyuk.

Tradisi berpakaian Jawa di lingkungan makam sebagai bentuk penghormatan kepada leluhur masih diterapkan hingga kini. Terutama pada hari Senin, Jumat, dan Minggu saat peziarah diharuskan memakai baju lurik dipadu dengan  jarik (kain panjang) atau bertelanjang dada dengan blangkon bagi laki-laki, dan jarik dan kemben bagi perempuan.  Dengan busana ini, peziarah bebas berkeliling ke tiga kompleks makam  penyusun Makam Imogiri untuk mendoakan arwah leluhur, yaitu Kasultan Agungan yang mengisi area tengah, Kasultanan Yogyakarta  yang terletak sisi kanan komplek makam, dan Kasunanan Surakarta yang terletak di sisi kiri komplek makam. Sayangnya, suasana sakral ini  terusik oleh banyaknya sampah yang ditinggalkan para peziarah begitu saja di sembarang tempat. Tampaknya, hal ini harus mendapatkan perhatian serius dari pengelola makam.

Momen khusus, seperti malam Jumat Legi dalam penanggalan Jawa, Idul Fitri, ataupun saat diselenggarakannya upacara Kuras Enceh menarik ribuan peziarah.  Khusus untuk Kuras Enceh, ritual ini selalu dinantikan oleh masyarakat luas untuk ngalap berkah. Kuras Enceh diselenggarakan untuk menguras dan mengisi kembali enceh (gentong) yang terletak di depan makam Sultan Agung. Empat buah gentong yang  konon merupakan hadiah dari kerajaan Sumatera, Aceh, Romawi, dan Thailand tersebut dikuras dan diisi lagi dengan air hingga luber. Uniknya,  luberan air inilah yang diperebutkan oleh para peziarah untuk mendapatkan berkah.

Banyak tempat untuk beristirahat di lingkungan makam yang dinaungi rimbun pepohonan. Tetapi  biasanya saya akan beristirahat ketika perut sudah meronta karena lapar.  Saat inilah waktu ‘berburu’ sajian kuliner khas Imogiri; Pecel Kembang Turi. Gampang sekali mendapatkannya karena banyak penjual yang menjajakan kuliner tradisional ini di sekitar pintu gerbang Makam Imogiri.  Harganya pun murah, hanya Rp7.000,00 per porsi. Keunikan pecel ini terletak pada sensasi rasa pahitnya. Dengan warna putih tulang, Kembang Turi menyulut gairah makan bersama sayuran segar lainnya, seperti bayam, kubis, toge dan kacang panjang yang disiram dengan sambal kacang nan gurih. Sedapnya akan lebih terasa bila ditemani baceman tempe dan tahu, serta peyek kacang yang renyah.

Wedang Uwuh menjadi penutup sempurna santap Pecel Kembang Turi.  Segar rempah langsung terasa di tenggorokan saat pertama kali meneguk minuman tradisional ini. Uwuh dalam bahasa Jawa berarti sampah dedaunan.  Seperti namanya, wedang ini memang terdiri atas racikan beragam herba yang telah dikeringkan seperti daun cengkih, daun pala, daun manis jangan, serutan kayu secang, dan jahe.  Kesemua bahan tersebut diseduh dengan air panas bersama gula batu untuk menghasilkan sebuah minuman rempah berwarna merah.  Khasiatnya bisa meredakan capek dan mencegah masuk angin. Cocok  bagi saya yang telah melakukan perjalanan jauh dari Jakarta ke Yogyakarta untuk berakhir pekan. Untuk menikmati segelas wedang ini, saya hanya perlu merogoh kocek sebesar Rp3.000,00. Murah bukan?. Tak lupa, Wedang Uwuh dalam kemasan juga saya beli sebagai oleh-oleh untuk keluarga.

Apabila selama ini hanya tahu batik untuk dikenakan, tak ada salahnya mengenal pembuatan batik.  Imogiri sekali lagi menyediakan ruang untuk belajar tentang batik.  Salah satunya Desa Giriloyo yang telah lama dikenal sebagai sentra perajin batik.  Harga batik yang dijual di sana sedikit lebih miring dari pada batik yang dijual di pusat kota Jogja. Penggunaan warna alam yang diwariskan secara turun temurun masih tetap dipertahankan dalam pembuatan batik  bermotif khas Imogiri, seperti Grompol, Tambal, Madu Bronto, dan Semen Gendhang.   Jiwa tergugah tatkala mengetahui filosofi yang tersembunyi pada setiap motif.  Sebut saja, Tambal yang berpesan suatu ikhtiar untuk menambah sesuatu yang kurang atau Madu Bronto yang menyiratkan kisah asmara manusia yang manis bagaikan madu.

Kunjungan saya ke Imogiri ditutup dengan santap Sate Klatak Pak Bari yang mulai buka selepas maghrib. Sebenarnya banyak warung yang menjual sate klatak, tetapi pilihan saya jatuh ke sana. Letaknya yang berada di selasar Pasar Wonokromo membuat suasana lebih santai. Di sana disediakan tikar dan kursi kayu panjang untuk duduk para pemburu kuliner tersebut. Uniknya, Sate Klatak memakai penusuk jeruji sepeda, bukan bambu. Penggunaan logam seperti ini membuat daging lebih cepat matang hingga ke dalam . Tak heran, bila Sate Klatak ini dapat disajikan kepada pelanggan kurang dari 15 menit.

Daging kambing sebagai bahan Sate Klatak hanya dibumbui dengan taburan garam dan ketumbar. Meskipun sederhana, rasanya  cukup menggoyang lidah dan tidak amis sama sekali. Tetap sedap disantap  dengan sepiring nasi putih hangat dan kuah gulai yang memberikan cita rasa rempah yang harum. Seporsi Sate Klatak dibandrol dengan harga Rp15.000,00.   Untuk minumnya, saya pesan jeruk peras hangat dengan gula batu.

Tak ada habisnya mengeksplorasi Yogyakarta, karena daerah ini punya segalanya. Salah satu cara berwisata murah tetapi tetap menyenangkan adalah menyusuri wilayah pedesaan yang kaya dengan tradisi Jawa. Tak hanya menikmati alam permai, berwisata ke desa juga mengajarkan kita pada kearifan lokal.  Nilai-nilai luhur yang sudah luntur di wilayah perkotaan dapat ditemukan kembali di desa. Penemuan ini seakan membawa kita kembali ke ‘akar’ budaya kita. Karena inilah, ketentraman selalu meliputi hati ketika menyambangi suatu desa. Tak ayal, akhirnya perasaan ini menimbulkan semacam kerinduan untuk datang lagi dan lagi ke sana.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline