Bedug telah ditabuh, adzan maghrib lanjut dikumandangkan. Seperti biasa, warga desa Pasucen, Rembang bergegas berangkat ke Masjid untuk melaksanakan sholat maghrib berjamaah.
“Nggih begini to mas kebiasaan kami”. Salah satu Mudin (tokoh agama) desa Pasucen, Rembang menjelaskan.
“Masnya ‘ndak mau berjamaah sekalian?” Ia melanjutkan, mengajak saya turut berjamaah sholat maghrib.
“Iya, pak. Mari” Saya mengangguk.
Hari itu, untuk yang pertamakalinya saya menginjakkan kaki di bumi Rembang, Jawa Tengah. Di salah satu masjid yang berada di tanah yang menuai banyak perdebatan lantaran pembangunan pabrik semen itu, saya menjalankan ibadah sholat maghrib berjamaah.
Seusai menjalankan ritual sakral sebagai seorang muslim, saya bersama pak Mudin kembali ke rumahnya.
“Alhamdulillah to, mas. Kebiasaan sholat maghrib berjamaah ini masih sering kami lakukan di masjid” Pak Mudin mengawali pembicaraan sambil berjalan.
Saya menyimak, sambil mengimbangi langkah kaki pak Mudin.
“’Ndak seperti yang dibilang orang-orang, katanya kami bermusuhan. Padahal mas sendiri lihat to kami aman-aman saja”. Pak Mudin melanjutkan, saya masih menyimak.
Malam itu, kedatangan saya sebagai seorang wartawan disambut hangat oleh pak Mudin. Sebab katanya, kalau tidak ada wartawan yang menulis berita, tentu kebenaran sulit diungkapkan.
Lima menit berlalu, akhirnya kami tiba di rumah pak Mudin. Di pelataran rumah yang damai dan sejuk, kami meneruskan perbincangan dengan ditemani kopi hitam dan pisang goreng buatan istri pak Mudin.