Oeekkkk...oeeek.....ooeek, Alhamdulilah saya dan istri mengucap syukur atas kelahiran bayi nan mungil buah hati pertama kami. Setelah melewati hampir 6 jam kontraksi dan beberapa kali ngejan. Bayi laki-laki dengan berat 3,1 Kg dan Tinggi 51 cm, hadir ke dunia tepat di malam 29 Ramadhan.
Rona wajah putih bersih dan bibir merah alami tanpa gincu membuat air mata haru ini jatuh tak terasa. Bidan Pusban Bangun Mulya Penajam Paser Utara sigap memakaikan bedong beserta pakaian bayi. Si kecil langsung mendapat pelukan pertama dari ibunya. Saya pun tak segan mendaratkan ciuman ke kening istri dan anak yang akan kita beri nama Ibrohim.
Semenjak kelahiran buah hati pertama. Hari-hari yang saya lalui terasa berbeda dan penuh warna. Setiap pagi intonasi tangis bayi berbunyi merdu. Nada intonasi tangis itu naik satu oktaf setiap harinya. Alarm tidak langsung yang membuat seisi rumah tanggap dan bangun bersama-sama. "Assalamualaikum Ibrohim ? Udah bangun kah nak pinter?" kata sambutan ini meluncur dari istri maupun mertua setiap paginya.
Sayang indahnya dekat dengan Ibrohim hanya bisa saya lalui 1 minggu. Pekerjaan memisahkan saya dengan Ibrohim sementara waktu. Masa cuti mendampingin istri melahirkan telah berlalu. Saya harus kembali ke Samarinda mencarikan anak dan istri sesuap nasi dan sepotong popok lengkap dengan baju. Hal yang begitu menyakitkan bagi saya. Berpisah dengan anak pertama dan hanya dapat mendampingi sekejap saja.
Jarak kampung halaman Penajam Paser Utara dan Samarinda saya tempuh dalam waktu 5 jam via darat dan laut. Kendati demikian saya hanya pulang 1 bulan sekali. Itung-itung hemat ongkos jalan sekaligus menunggu waktu gajian akhir bulan. Terlebih saat pandemi covid 19 saat ini.
Transportasi pergi dan pulang antar kabupaten di Kalimantan Timur tidak begitu leluasa. Saya harus mendapatkan surat rapid test dari RSUD Ratu Aji Putri Botung. Semua aktivitas harus saya tata ulang. Menjalankan protokol kesehatan dan mematuhi himbauan pemerintah dalam pengendalian covid 19.
Jarak tempat kerja yang jauh dan intensitas tatap muka langsung dengan Ibrohim praktis hanya sebulan sekali. Kendati demikian Saya tidak ingin ibrohim kekurangan kasih sayang seorang ayah. Bonding antara saya dan Ibrohim harus tetap terjalin. Kasih sayang ayah kepada anak juga harus diberikan meskipun via video call atau telepon. Tetap produktif menjadi seorang ayah. Tidak hanya dalam hal mencari nafkah. Melainkan juga sebagai seorang ayah dalam menanamkan nilai karakter yang baik untuk anaknya.
Suatu sore hendak pulang kerja, saya lihat awan hitam menyelimuti langit yang tadi siang nampak membiru. Kaki-kaki tangguh ini bergegas secepat mungkin sampai parkiran motor. Petir menggelegar, kilat menyambar. Mendung bergantung wana hitam pekat dari barat mulai mendekat.
Buliran air gerimis basah mulai menerpa tangan yang erat memegang setir motor. Sambil menundukkan kepala ke bawah, hujan semakin keras memukul-mukul. Tuas gas motor saya tancap gas supaya lebih cepat sampai kontrakan. Baju basah, motorpun terlihat antah brantah. Tapi tak apa lah, demi mencarikan anak istri nafkah.
Rasa lelah laksana hilang tak bercelah karena malam ini saya akan video call dengan Ibrohim. Apalagi tepat malam ini Ibrohim genap berusia 1 bulan. Langsung saya arahkan jari-jemari yang putih pucat kedinginan ini, mengambil ponsel. Jaringan kuat 4G Tri saya nikmati untuk video call bersama anak dan istri. Sebelum video call cek dulu kuota internet via aplikasi bima tri. Ternyata paket saya masih ada 1 Gb. Cukup untuk berlama-lama melepas kangen dengan keluarga.