Oleh Veeramalla Anjaiah
Maladewa, sebuah negara tujuan wisata populer di Asia Selatan, tengah menghadapi krisis keuangan yang parah karena para investor berbondong-bondong menjual obligasi Islam negara tersebut, yang dikenal sebagai sukuk. Aksi jual ini meningkat dalam beberapa minggu terakhir, dengan sukuk berdenominasi dolar yang akan jatuh tempo pada tahun 2026 turun di bawah 70 sen per dolar, yang merupakan rekor terendah, lapor saluran berita WION situs kantor berita baru-baru ini.
Sukuk, menurut jurnal Eurasian Review, adalah sertifikat keuangan Islam, mirip dengan obligasi dalam keuangan Barat. Namun, sertifikat ini mematuhi hukum agama Islam, yaitu Syariah. Karena struktur obligasi pembayaran bunga tradisional Barat tidak diizinkan di Maladewa sebagai negara Muslim, penerbit Sukuk menjual sertifikat kepada investor, lalu menggunakan hasilnya untuk membeli aset yang sebagian kepemilikannya dimiliki oleh investor. Penerbit juga harus membuat janji kontraktual untuk membeli kembali obligasi tersebut di masa mendatang dengan nilai nominal.
Sejauh ini, tidak ada satu pun pemerintah Maladewa yang pernah gagal membayar Sukuk. Namun, Pemerintahan Presiden Mohamed Muizzu saar ini terancam gagal bayar.
Maladewa tengah menghadapi krisis ekonomi parah yang membahayakan tatanan sosial dan stabilitas politiknya. Di bawah Presiden Muizzu, masalah keuangan negara tersebut telah meningkat, ditandai dengan melonjaknya utang, menyusutnya cadangan devisa dan meningkatnya ketergantungan pada bantuan asing, khususnya dari China.
Menurut surat kabar Financial Times, obligasi Maladewa merosot setelah Fitch Ratings menurunkan peringkat utang negara kepulauan itu untuk kedua kalinya dalam dua bulan akibat krisis keuangan yang semakin dalam.
Pada bulan Juni lalu, Fitch menurunkan peringkat Maladewa menjadi CCC+ atau risiko kredit "sangat tinggi".
Menurut saluran berita Daily Mirror Online, skala krisis utang Maladewa sangat mengejutkan. Hingga bulan Maret 2024, total utangnya mencapai AS$8,3 miliar, yang merupakan 110,1 persen dari produk domestik bruto (PDB) negara tersebut. Utang ini terdiri dari utang anggaran sebesar $7,38 miliar dan utang terjamin sebesar $921 juta. Terlebih lagi, utang luar negeri mencapai $3,4 miliar, atau 45 persen dari PDB, yang menimbulkan risiko signifikan terhadap stabilitas ekonomi dan kedaulatan negara tersebut.
Maladewa berutang $1,11 miliar kepada China, yang merupakan 14,77 persen dari PDB dan 32,8 persen dari utang luar negerinya. Tingkat utang yang tinggi terhadap satu negara ini menimbulkan kekhawatiran serius tentang kemandirian ekonomi dan pengaruh politiknya. Konsentrasi utang di antara beberapa kreditor utama membuat Maladewa rentan terhadap tekanan eksternal dan membatasi kemampuan manuver ekonominya.
Sebagai respons terhadap krisis tersebut, pemerintahan Presiden Muizzu secara aktif mencari bantuan keuangan. Rencana pembiayaan tahun 2024 ambisius dan berisiko, menargetkan pinjaman proyek sebesar $306 juta, dukungan anggaran atau obligasi negara sebesar $456 juta dan $51 juta melalui obligasi hijau atau biru.