Oleh Veeramalla Anjaiah
Ada drama politik besar di Pakistan, sebuah negara Asia Selatan, dengan begitu banyak lika-liku, perubahan dan kejutan di bulan ini. Hasil dari drama suram ini adalah penggulingan perdana menteri yang tidak populer dan tidak kompeten Imran Khan melalui mosi tidak percaya pada tanggal 10 April.
Imran mencoba setiap trik yang ada untuk mempertahankan jabatannya tetapi gagal dalam semua usahanya. Ia mencoba untuk menunda mosi tidak percaya melalui Ketua Majelis Nasional yang loyal. Wakil ketua loyalisnya yang lain menolak mosi tidak percaya tersebut.
Kemudian, ia merekomendasikan kepada Presiden Pakistan untuk membubarkan Majelis dan menyerukan pemilihan umum baru. Namun Mahkamah Agung memutuskan bahwa keputusan untuk membubarkan Majelis adalah ilegal (tak sesuai dengan Konstitusi).
Ia kalah dalam mosi tidak percaya dan meminta 123 anggota parlemen partainya untuk mengundurkan diri secara massal dari Majelis. Ia sekarang berada di jalan dan telah mengorganisir demonstrasi menuntut pemilihan lebih awal.
Pemimpin oposisi gabungan dari Liga Muslim Pakistan (Nawaz), Mian Muhammad Shehbaz Sharif, dilantik sebagai Perdana Menteri Pakistan ke-23 pada 11 April. Tidak seperti kakak laki-lakinya Nawaz Sharif, yang menjabat sebagai perdana menteri tiga kali, itu adalah pertama kalinya bagi Shehbaz yang berusia 71 tahun untuk memegang posisi teratas negara tersebut.
Hasil lainnya adalah kembalinya Purana Pakistan (Pakistan Lama) setelah tiga tahun dan 235 hari dari apa yang disebut sebagai Naya Pakistan (Pakistan Baru) oleh Imran. Purana Pakistan mengacu pada aturan tipe dinasti Syarif dan Bhutto sementara Naya Pakistan adalah konsep dan janji Imran ketika ia berkuasa pada tahun 2018.
Ia berjanji akan membuat Naya Pakistan. Ia bersumpah untuk memerangi korupsi, membawa reformasi di kepolisian, peradilan dan di semua lembaga negara. Ia juga berjanji akan menghadirkan negara kesejahteraan Islam yang mirip dengan negara Madinah di Arab Saudi.