Veeramalla Anjaiah*
Tepat dua tahun lalu (Juli 12 2016), Pengadilan Arbitrase Permanen (PCA) yang berpusat di Den Haag memberikan putusan historis yang mendukung Filipina atas hak maritimnya di Laut China Selatan (LCS). Pengadilan arbitrase telah menegaskan 14 klaim dari 15 klaim Filipina yang diajukan, hanya satu klaim yang ditolak sebagian.
Di antara 15 klaim, isu Dangkalan Scarborough (Scarborough Shoal) menjadi sengketa utama antara Filipina dan China.
PCA jelas menolak hak historis China berdasarkan sembilan garis putus kontroversialnya di LCS dan mengutuk proyek reklamasi lahan Beijing serta pembangunan pulau buatan di Kepulauan Spratly. PCA juga menyatakan bahwa elevasi rendah tidak menghasilkan zona maritim mereka sendiri, yang memberikan posisi lebih kuat untuk kebebasan navigasi dan penerbangan di sekitar fitur maritim tersebut.
Penolakan klaim sembilan garis putuh oleh PCA sangat bermanfaat bagi Filipina serta negara penuntut lainnya seperti Vietnam, Malaysia, Brunei, dan bahkan Indonesia, yang bukanlah negara penuntut.
Penolakan tersebut merupakan sebuah interpretasi hukum yang sempurna dari Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa 1982 tentang Hukum Laut (UNCLOS). Hal ini juga mengurangi ruang lingkup beberapa sengketa maritim.
"Tumpang tindih di zona maritim yang diklaim di Laut China Selatan telah menurun dari sebagian besar perairan di wilayah itu menjadi hanya lautan teritorial seluas 12 mil laut di sekitar perairan pasang surut di Kepulauan Spratly," tulis Hong Thao Nguyen, seorang ilmuwan Vietnam, dalam artikelnya yang berjudul "Making China Comply" yang diterbitkan dalam Strategic Review The Indonesian Journal of Leadership Policy and World Affairs (October --December 2016).
"Indonesia, Malaysia, Vietnam, Brunei, Singapura, dan Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara semuanya akan mendapatkan manfaat dari keputusan tersebut. Kemungkinan untuk memiliki laut lepas di Laut China Selatan yang semi-tertutup telah dihidupkan kembali oleh putusan tersebut."
Meskipun keputusan itu bersifat final dan mengikat secara hukum, China, yang mengklaim lebih dari 80 persen LCS, menolaknya dengan mengatakan bahwa keputusan itu hanya satu sisi dan China tidak memiliki kewajiban untuk menerapkannya.
China, yang juga menandatangani UNCLOS, memutuskan untuk menentang hukum maritim internasional karena tidak ada kecaman dari AS dan negara besar lainnya. Anehnya, China turut menganut UNCLOS dalam kasus Laut China Timur dalam perselisihannya dengan Jepang sementara secara sepihak menyatakan hak-hak historis berdasarkan sembilan garis putus di LCS, yang jelas merupakan pelanggaran dari UNCLOS.
China mengatakan akan menyelesaikan sengketa dengan negara-negara penuntut melalui negosiasi bilateral.