Oleh: Anja 'Azza' Unnada, Muhammad Fatkhul Anam, Rahma Naela Candra
Diskriminasi gender merupakan isu yang terus menjadi perhatian dan belum sepenuhnya terselesaikan. Permasalahan ini tidak hanya menjadi perhatian di Indonesia, tetapi juga di berbagai negara lain. Upaya untuk mencapai kesetaraan gender dan menghapus diskriminasi terus dilakukan melalui berbagai gerakan dan perjuangan. Padahal, dasar hukum yang menjamin kesetaraan hak dan kesempatan antara pria dan wanita sudah ada, salah satunya melalui Declaration on the Elimination of Violence Against Women yang disahkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tahun 1993. Namun demikian, sangat disayangkan bahwa deklarasi ini sering kali kurang dipahami dan dimaknai oleh masyarakat. Akibatnya, permasalahan yang berkaitan dengan gender sering kali tidak diselesaikan dengan merujuk pada pedoman yang telah ada (Musa et al., 2022).
Permasalahan gender bukan lagi hal yang baru dalam kehidupan masyarakat. Di Indonesia, perjuangan untuk kesetaraan gender telah dimulai sejak lama, dipelopori oleh R.A. Kartini, yang mengadvokasi emansipasi wanita dan hak mereka untuk mendapatkan pendidikan yang setara dengan pria. Meskipun berbagai upaya telah dilakukan untuk mencapai kesetaraan gender, masalah diskriminasi masih sering muncul dalam masyarakat. Pandangan yang menganggap wanita sebagai makhluk yang lebih lemah dibandingkan pria terus berakar, sehingga menciptakan ketidakadilan gender yang berkelanjutan. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun ada kemajuan dalam perjuangan kesetaraan, tantangan untuk mengubah persepsi dan praktik sosial masih harus dihadapi (Zuhri, S., & Amalia, 2022).
Pendidikan adalah hak yang dimiliki oleh setiap individu, baik laki-laki maupun perempuan. Pemikiran dan gagasan R.A. Kartini mengenai pendidikan perempuan di Jawa telah memberikan dampak yang positif terhadap perkembangan kaum perempuan di Indonesia. Berdasarkan gagasan tersebut, perempuan dapat meningkatkan martabat dan kedudukannya, karena mereka tidak lagi terbelenggu oleh adat dan budaya yang kaku. Pendidikan ini dapat mengubah kehidupan perempuan, khususnya dalam keluarga, menuju arah yang lebih baik. Oleh karena itu, seharusnya tidak ada lagi perbedaan, diskriminasi, atau pengabaian terhadap pendidikan perempuan. Jika perempuan memiliki pengetahuan yang luas dan tingkat pendidikan yang tinggi, maka peran mereka dalam keluarga maupun masyarakat juga akan semakin meningkat (Samijo et al., 2024).
Dalam salah satu surat yang tertulis dalam buku "Door Duisternis tot Lich: Gedachten Over en Voor Het Javaansche" (yang dalam bahasa Indonesia berarti Dari Kegelapan Menjadi Terang: Pemikiran Tentang dan untuk Bangsa Jawa oleh Raden Ajeng Kartini), Kartini menyampaikan pandangannya, "Kami, perempuan Jawa, hanya diperbolehkan memiliki satu cita-cita, yaitu suatu saat kami akan dipersunting sesuai pilihan orang tua." Buku ini mencerminkan rasa kecewa Kartini terhadap tradisi yang membelenggu perempuan pada masa itu. Sebagai respons terhadap kondisi ini, Kartini, dengan dukungan CH. T. Van Deventer melalui Yayasan Van Deventer, mendirikan sekolah khusus perempuan di beberapa tempat di Semarang pada tahun 1912. Usaha Kartini ini membawa dampak signifikan bagi Indonesia, di mana perempuan mulai berperan dalam kebangkitan nasional (Sulistyowati, 2021).
Pendidikan merupakan hak yang dijamin bagi semua warga negara, apapun jenis kelaminnya. Disebutkan dalam UUD 1945 yang menyatakan "Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan pada dasarnya, berhak memperoleh pendidikan dan memeperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan, dan teknologi, seni budaya,guna menghidupkan mutu kehidupan masyarakat". Pendidikan tidak boleh di abaikan dalam masa pembangunan masyarakat atau bangsa, karena pendidikan merupakan unsur utama yang menjadikan kemajuan sosial budaya (Mustika Sari, 2024)
Pendidikan yang tinggi memiliki dampak positif yang dapat meningkatkan kualitas seseorang, dengan mengenyam pendidikan, maka perempuan dapat melahirkan generasi yang cerdas. Perempuan juga bisa berkontribusi pada angkatan kerja yang dapat meningkatkan perekonomian dan mengurangi tingkat kemiskinan dan pengangguran. Salah satu tantangan masa kini bagi pendidikan perempuan adalah perempuan sering dipandang sebelah mata, banyak sekali oknum yang tidak memberikan kesempatan kepada perempuan untuk menjalankan pendidikan dengan keadilan dan fasilitas yang seharusnya di gunakan (Karai Handak & Kuswanto, 2021). Melalui surat-suratnya, R.A. Kartini menekankan betapa pentingnya solidaritas antara perempuan sehingga dapat saling mendukung dan bekerja sama untuk memperjuangkan hak-hak mereka.
Peran kartini dalam memajukan pendidikan di Indonesia adalah salah satu bukti kontribusi wanita dan bukti kepedulian terhadap bangsa Indonesia. Karena pada masa itu pendidikan perempuan sangat memprihatinkan, dengan begitu kartini mendirikan sekolah khusus perempuan dan membangun perpustakaan untuk anak-anak perempuan. Ayah R.A. Kartini pernah mengungkapkan bahwa pendidikan akan membawanya menuju kebahagiaan hidup dan kesejahteraan. Kartini juga dikatakan sebagai tokoh penunjang dan pembaru dibidang pendidikan perempuan, yang banyak mengajarkan tentang arti pentingnya pendidikan bagi perempuan. Pada masa presiden Soekarno beliau menafsirkan sepenggal kalimat yaitu "Perempuan itu tiang negri" maka perempuan harus sadar dengan posisi dan kedudukannya untuk kemajuan bangsa (Karai Handak & Kuswanto, 2021)
Kesadaran perempuan dalam pentingnya pendidikan masih rendah dan sering terjebak di zona nyaman apalagi di era globalisasi saat ini pendidikan bagi perempuan kurang berjalan dengan maksimal karena di Tengah arus modernisasi yang menuntut keterampilan dan pengetahuan tinggi (Fillah, 2008 dalamKarai Handak & Kuswanto, 2021). Jadi, penting banget buat meningkatkan kesadaran perempuan tentang pendidikan dengan pelatihan, atau dukungan dari keluarga. Pendidikan adalah kunci untuk membuka peluang menjadi luas, dan menjadikan seseorang mandiri. Peran kartini dalam pendidikan membuktikan bahwa perubahan besar bisa dimulai dari langkah-langkah kecil dan keberanian untuk melawan ketidakadilan.
Jadi, bila saat ini marak isu Pengarus Utamaan Gender (PUG), nampak bahwa kesetaraan dan keadilan gender tidak muncul begitu saja, melainkan dari zaman kolonial sudah muncul, dipelopori oleh sosok perempuan (RA Kartini). Sehingga sampai sekarang antara laki-laki dan perempuan memiliki peran yang sama dalam berbagai aspek kehidupan, namun tidak terlepas dari konteks cara pandang harus tetap disesuaikan dengan "kodrat perempuan". Dalam kehidupan sekarang tidak jarang kesetaraan dan keadilan gender sering menjadi masalah sosial, tidak pelak kesetaraan gender dijadikan sebagai alasan laki-laki (suami) untuk tidak memenuhi kewajibannya kepada perempuan (istri) (Tantri Dewayani, 2021).