Dua hari lalu, bangsa Indonesia memperingati sebuah momen besar, hari kebangkitan nasional. Saya yakin, selama bersekolah, kita semua telah diajari oleh guru-guru bahwa 20 Mei 1908 merupakan hari kelahiran sebuah organisasi bernama Budi Utomo. Sebuah organisasi yang menjadi perintis pergerakan nasionalisme di Indonesia. Organisasi yang didirikan oleh Wahdini soedirohusodo ini memang merupakan organisasi modern pertama pada masanya. Meski masih bersifat kedaerahan, namun organisasi yang beranggotakan para pelajar Stovia ini menjadi penanda bagi bangsa Indonesia bahwa persatuan dan kesatuan merupakan hal penting dalam pergerakan melawan penjajah.
Namun yang kerap kita lupa, baru 40 tahun setelah Budi Utomo berdiri, tanggal 20 Mei diperingati sebagai hari kebangkitan nasional. Pada saat itu, tahun 1948, Indonesia tengah menghadapi krisis. Pasca Agresi Milter Belanda yang masih ingin berkuasa di Indonesia. Pasca perjanjian Renville yang membagi-bagi wilayah Indonesia dengan Belanda yang menyebabkan rakyat Indonesia berjibaku untuk mempertahankan pulau Jawa dan Sumatera. Belum lagi krisis ekonomiyang menyebabkan rakyat kesulitan untuk sekedar membeli beras.
Pada saat itu, Presiden Soekarno dan para pendiri bangsa berupaya mencari simbol yang bisa membangkitkan semangat bangsa Indonesia dari keterpurukan. Sebuah simbol yang mengingatkan kembali bahwa persatuan dan kesatuan merupakan kekuatan terpenting yang harus digalang agar bangsa Indonesia bisa berdiri tegak. Maka penelusuran sejarah pun membawa Soekarno kepada Budi Utomo. Meski organisasi tersebut merupakan perkumpulan pelajar Jawa, namun Budi Utomo dinilai tepat untuk merepresentasikan perjuangan Indonesia melawan penjajah yang bersifat modern pada masanya. Perjuangan yang tak lagi angkat senjata, namun menggunakan pendidikan dan peran pers untuk menggalang kekuatan di masyarakat. Maka resmilah hari lahir Budi Utomo sebagai hari kebangkitan nasional.
Pertanyaannya kini adalah: apa relevansi kelahiran Budi Utomo dan kebangkitan nasional terhadap kondisi Indonesia pada saat ini?
Sejujurnya perlu kita sadari bahwa kondisi Indonesia saat ini tidak jauh berbeda dengan 1948. Indonesia saat ini butuh simbol yang mengingatkan betapa pentingnya persatuan dan kesatuan bagi bangsa ini.
Dalam pemberitaan dan sosial media, betapa mudahnya perbedaan yang dimiliki bangsa ini dijadikan senjata untuk saling menjatuhkan hanya demi iming-iming kekuasaan yang semu. Ini adalah krisis. Ini adalah kondisi darurat kebinekaan yang membuat bangsa ini perlu merefleksi kembali makna kebangkitan nasional.
Sebagai generasi penerus bangsa, salah satu hal yang paling mungkin kita lakukan saat ini adalah melalui pendidikan, sebagaimana ruh dari Budi Utomo itu sendiri. Betapa urgensinya pendidikan mengenai kemajemukan bangsa Indonesia dipelajari baik-baik. Pendidikan yang meliputi moral, Pancasila, wawasan kebangsaan, dan juga kebudayaan lokal. Semua perlu dipahami bahwa keberagaman justru adalah pondasi bangsa ini. Keberagaman adalah kekayaan bangsa Indonesia.
Dalam seminar bertajuk Merajut Kebinekaan yang diselenggarakan oleh Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia di Balaikota Jakarta, pada 16 Mei lalu,dipaparkan hasil penelitian selama bertahun-tahun di lapangan dan laboratorium. Penelitian mengenai genetika manusia Indonesia. Hasilnya? Tidak ada yang namanya gen murni Indonesia. Genetika Indonesia merupakan peleburan genetika manusia-manusia modern yang berasal dari belahan bumi lain yang bermigrasi dalam beberapa gelombang mulai dari puluhan ribu tahun lalu dan semakin signifikan menjelang terbentuknya Indonesia secara proklamasi pada 1945. Genetika para migran itu berasal dari Afrika dan Asia Timur.
Jadi, betapa kemajemukan telah ada sejak lama dan membentuk Indonesia hingga hari ini. Betapa rahim perempuan Indonesia adalah rahim yang majemuk dan akan terus melahirkan kemajemukan di masa yang akan datang.
Maka sepatutnya kita mejadikan momen kebangkitan nasional ini untuk memaknai kemajemukan sebagai pondasi dasar bangsa Indonesia. Kemajemukan sebagai simbol pemersatu bangsa Indonesia. Bhinneka Tunggal Ika. Dulu, kini, dan selama-lamanya.
Salah satu pembicara dalam seminar, Dr. Kartini Sjahrir, antropolog Universitas Indonesia, mengatakan, "Mereka yang sibuk mencina-cinakan orang, membedakan pribumi dan non pribumi, sesungguhnya telah melakukan sebuah kebodohan yang mendasar. Mereka buta akan sejarah bangsa ini. Mereka lupa asal-usul mereka, layaknya kisah Malin Kundang yang durhaka kepada ibunya."