Ketika pertama kali Reshuffle Kabinet beberapa waktu lalu, saya sempat ragu dengan Mendikbud yang baru ini. Dengar-dengar ia ahli Sosiologi Militer. Duh, apa nantinya sistem pendidikan kita bakal lebih ketat? Banyak belajar soal pertahanan negara? Atau yang lebih parah, diseragamkan?
Ternyata... Terobosan-terobosan beliau, meski terkadang terkesan terburu-buru, seringkali membuat saya kagum.
Pertama soal full day school. Memang lebih baik anak menghabiskan waktu di sekolah ketimbang dipulangkan lebih cepat dan malah akhirnya bukan langsung pulang ke rumah, tapi nongkrong entah di mana. Memang sih, saya tidak bicara soal siswa SD atau pun SMP seperti yang kemarin ditargetkan Pak Menteri. Saya bicara soal anak-anak didik saya yang sudah SMA. Tak terbayang rasanya jika mereka pulang jam 14.00 saja, pasti waktu nongkrong mereka tambah banyak. Lebih baik di sekolah, tak melulu belajar, tetapi bisa juga ikut kegiatan organisasi, kepramukaan, maupun ekstrakurikuler sampai sore (pukul 15.30) seperti yang selama ini telah berjalan. Lalu Sabtu mereka bisa libur, saatnya bermain dan beristirahat hingga hari Minggu.
Kedua, soal moratorium UN 2017. Saya termasuk yang mendukung jika UN dihapus. UN itu sifatnya untuk memetakan kualitas pendidikan. Lah, ini sudah berapa tahun dipetakan terus? Saya rasa sudah cukup. Sekarang saatnya aksi nyata untuk pendidikan di Indonesia yang jelas-jelas belum merata ini.
Penghapusan UN sesuai dengan Nawacita pemerintahan Jokowi yang mengedepankan desentralisasi. Salah satu ciri good governance yang saya ajarkan ke anak-anak didik dalam pelajaran civics adalah desentralisasi. Berikanlah ke daerah, kembalikanlah ke sekolah-sekolah, bagaimana menangani kelulusan sesuai dengan potensi daerah masing-masing. Anak di Jakarta dengan di pelosok Papua sana tentu tak punya sarana dan prasarana yang sama. Lalu mengapa pula harus mengerjakan soal yang sama?
Berikutnya mengenai pelajaran yang di-UN-kan. Apa harus 3 tahun belajar di sekolah hanya ditentukan oleh Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika, IPS, dan IPA? Kemana nilai-nilai agama, moral, sejarah, dan budaya? Bukankah justru nilai-nilai itu yang menjadikan manusia sebagai manusia? Bahkan dalam lingkungan terkecil dan paling sederhana sekali pun, kebudayaan sudah tercipta. Meski orang-orang di dalamnya tak berilmu.
Memang benar ketika pak menteri berkata bahwa pada akhirnya siswa hanya akan mementingkan pelajaran UN. Jangankan siswa, sekolah pun begitu. Padahal bagi saya, semua pelajaran semestinya penting karena tujuannya adalah membentuk karakter anak. Kedepankan karakter, bukan mengkotak-kotakkan dan mempersempit pikiran anak mengenai pelajaran "penting" dan "tak penting". Sekolah semestinya membentuk manusia, bukan robot berpikiran sempit.
Apa pun keputusan pemerintah nantinya, saya tetap pada pendirian bahwa UN sebaiknya dihapus. Jika perlu dibahas lebih lanjut seperti penuturan Wapres JK, maka segerakanlah. Jika masih perlu dikaji secara yuridis, sosiologis, maupun historis, maka kiranya Bapak dan Ibu anggota Dewan Komisi X yang terhormat, sudi menelaahnya dengan seksama.
Saat ini yang kita butuhkan bukan melulu pemetaan, melainkan langkah nyata memajukan pendidikan kita agar dapat mengembangkan potensi lokal siswa di setiap daerah dan pada akhirnya membentuk generasi masa depan yang mengedepankan nilai-nilai karakter, budi pekerti, moral, sejarah, dan budaya beriringan dengan perkembangan sains dan teknologi.
Hidup anak Indonesia! Hidup generasi masa depan bangsa!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H