Lihat ke Halaman Asli

Pelangi Kelabu di Mataku

Diperbarui: 28 September 2016   12:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Ada kenangan samar yang tersimpan dalam benakku. Kelas menggambar di Taman Kanak-kanak. Saat itu jemariku yang masih kecil menggenggam krayon biru dan kugunakan untuk mewarnai daun-daun di pepohonan. Krayon merah untuk memenuhi langit. Krayon hijau untuk menandai kokohnya batang pohon.

Jika saja aku melakukannya saat ini, mungkin aku akan dianggap sebagai anak jenius. Anak berbakat yang selalu berpikir di luar kotak. Thinking out of the box. Aku mungkin bahkan akan disebut-sebut sebagai penerus Picasso, Van Gogh, atau jangan-jangan malah Leonardo Davinci. Akan tetapi tidak jika mahakaryaku ini tercipta lebih dari sepuluh tahun silam.

Aku ingat Ibu Guru memandang kertas gambarku dengan tatapan aneh. Didorongnya kacamata tebal yang melorot ke pangkal hidungnya. Sedikit mengernyit, seolah tidak yakin akan apa yang dilihatnya. Hal yang terlintas di benakku kemudian adalah Ibu Guru berbicara dengan ibuku lama sekali. Aku menyanyikan lagu Bintang Kecil 20 kali, lagu Pelangi20 kali, dan lagu Burung Kutilang20 kali hingga akhirnya aku bosan menunggu sendirian di luar pintu kelas.

Pikiranku kemudian melayang pada pembicaraanku dengan Ibu saat aku sudah duduk di Sekolah Dasar. “Kau ini istimewa. Mungkin agak sedikit berbeda dengan teman-temanmu, namun tak ada yang perlu dikhawatirkan. Dunia yang kamu lihat tetaplah sama,” kata Ibu seraya menyisir rambutku yang hitam panjang.

Lalu kemudian Ibu menjelaskan mengenai buta warna parsial. Rupanya aku merupakan perempuan langka yang terlahir ke dunia dengan kondisi “istimewa” itu. Dengan pemikiranku yang masih naif, aku terus saja menekuni dunia seni rupa. Mencintainya. Aku selalu senang menggambar. Itu adalah sebuah kesenangan dalam hidup yang tak akan pernah aku lepaskan.

*****

Jika ada istilah perempuan yang paling sial di dunia, mungkin aku termasuk di dalamnya. Betapa tidak, saat anak-anak seusiaku menggemari segala pernak-pernik Hello Kittyyang berwarna pink, aku tidak dapat memahami dengan pasti rupa warna tersebut dan mengapa ia sangat digemari.

Saat aku menggambar tokoh-tokoh animasi komik Jepang, macam Naruto atau Sailor Moon, teman-teman selalu berkomentar mengapa gambarku yang bagus itu tidak sesuai aslinya. Rambut karakter yang semestinya biru, kuwarnai hijau, kostum karakter yang semestinya cokelat, kuwarnai hijau muda.

Puncaknya, kini aku tengah duduk di bangku kelas 12 SMA, jurusan IPA, dan sama sekali tidak yakin dengan cita-citaku. Aku ingin sekali kuliah di ITB, Desain Grafis. Semua orang yakin dengan kemampuanku menggambar, begitu pula diriku sendiri. Menggambar, mendesain, mereka ulang objek adalah apa yang kuinginkan dalam hidupku kelak. Namun agaknya betapa pun aku lolos dalam setiap ujian tertulisnya, aku tidak akan pernah lolos dari ujian yang akan menjadi momok sepanjang hidupku. Tes buta warna.

“Mari kita bahas lagi mengenai cita-citamu, Sissy,” kata Ibu Susan, konselor sekolah. Hari ini adalah giliranku dipanggil Ibu Susan untuk membahas pilihan studi dan universitas setelah lulus SMA nanti. Kami berada di dalam ruang konseling yang sejuk dan nyaman di sudut sekolah.

Ibu Susan cukup peduli dengan urusan macam ini. Selain karena memang itu pekerjaannya, namun ada semacam dorongan dari dalam hatinya untuk membimbing anak-anak dalam melanjutkan kehidupannya di universitas. Sepertinya ia tidak ingin anak-anak salah langkah dalam menentukan studi dan masa depan. Semua harus sesuai dengan minat dan bakat. Tanpa paksaan sama sekali. Setidaknya itulah yang tergambar di mataku. Aku cukup mengagumi dedikasinya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline