JAKARTA -- Bambang Soesatyo
Ketua DPR RI/Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia
INDONESIA bukan bangsa bodoh. Sebaliknya, putra-putri Ibu Pertiwi mampu meraih prestasi gemilang di sejumlah ajang kompetisi antarbangsa. Produk dari sektor industri pun sudah mampu menerobos pasar internasional.
Lebih dari itu, bangsa ini pun tidak dalam kondisi kritis karena kebebasan mengemukakan pendapat di ruang publik, termasuk oleh oposisi, tidak pernah dibatasi atau dibungkam, pertanda bahwa budaya demokrasi terus tumbuh dan berkembang.
Lalu, siapa sebenarnya yang sakit? Siapa pula yang bodoh? Benar bahwa nilai tukar dolar AS terhadap rupiah sedang menggila. Juga tidak dibantah bahwa utang luar negeri bertambah. Pun, masih ada warga yang hidup berselimut kemiskinan walaupun jumlahnya sudah berkurang.
Jutaan angkatan kerja yang berstatus pengangguran terbuka adalah fakta yang tidak ditutup-tutupi. Harga kebutuhan pokok yang kadang fluktuatif bukan semata-mata karena kelemahan kontrol negara. Tak jarang, fluktuasi harga lebih disebabkan mekanisme pasar dan ulah spekulan. Korupsi pun masih marak.
Tidak berarti ragam persoalan klasik itu mencerminkan Indonesia sebagai bangsa yang bodoh atau sakit. Pun, semua persoalan itu tidak menyebabkan negara ini dalam kondisi kritis.
Depresiasi rupiah yang sempat menyentuh level Rp14.475 per dolar AS pada pekan ketiga Juli 2018 tidak akan membunuh perekonomian nasional. Posisi utang luar negeri per April 2018 yang mencapai USD356,9 miliar atau Rp4.996,6 triliun (kurs Rp 14.000) tidak akan membuat Indonesia bangkrut.
Jangan lupa bahwa bukan baru kali ini Indonesia dan rupiah dihadapkan pada gejolak nilai tukar valuta. Seperti banyak negara lain, otoritas moneter RI pun sudah sangat berpengalaman menghadapi gejolak nilai tukar valuta.
Lebih dari itu, turun-naik volume utang luar negeri pun bukan isu baru. Fluktuasi volume utang luar negeri adalah konsekuensi logis dari besar-kecil size atau skala perekonomian. Tidak semestinya fluktuasi nilai tukar rupiah dan volume utang luar negeri itu dijadikan isu untuk meneror publik atau menimbulkan pesimisme.
Depresiasi rupiah dan fluktuasi volume utang luar negeri lebih dipengaruhi oleh faktor eksternal seperti kenaikan suku bunga di Amerika Serikat, serta menjadi dampak dari perang dagang yang dilancarkan AS terhadap mitra dagang negara itu.