Lihat ke Halaman Asli

Ketika Aku Sesosok Monster: Metamorphosis

Diperbarui: 17 Juni 2015   10:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Saya menjatuhkan pilihan pada buku ini karena dua alasan sederhana: jumlah halaman yang minimalis, dan judul yang terkesan optimis sebab ia mengingatkan saya akan perubahan wujud ulat bulu menjadi kupu-kupu cantik. Namun, seperti telah banyak diperingatkan oleh sebuah pepatah bijak untuk tidak terburu menghakimi buku dari sampulnya, dugaan saya langsung patah begitu membaca paragraf pertama buku ini. Kafka dengan cerdik mengingatkan pembacanya bahwa perubahan tidak melulu bergerak dari buruk ke baik, melainkan bisa terjadi ke arah sebaliknya. Maka, harapan awal saya untuk membaca sebuah buku motivasional ringan dihadapkan pada cerita tentang kenyataan getir bahwa perubahan terjadi di luar kendali kita. Melampaui suatu perubahan, sebagian besar manusia terus terjebak dalam perjuangan akan sebentuk ‘penerimaan’ dari manusia lain, yang kerap kali justru menguap pada saat-saat kritis.

Jika ditilik dari tahun penulisannya, jalan cerita buku ini terbilang futuristik. Suatu pagi, Gregor Samsa, yang menjadi tulang punggung keluarganya dengan menjadi pedagang keliling, mendapati dirinya berubah menjadi sesosok serangga raksasa. Meski beragam wujudnya, orang-orang terdekat Gregor menyikapi perubahan itu secara negatif. Hari demi hari Gregor makin terbiasa dengan tubuh barunya. Seiring dengan itu, ia makin tertolak oleh lingkungannya. Hanya Grete, adik perempuannya, yang masih setia menyediakan makanan untuknya. Hingga suatu hari, Grete pun berangsur lelah mengurus Gregor, dan menganggapnya hanya sebagai beban keluarga. Mereka pun bersepakat menyingkirkan Gregor. Mendengar kenyataan pahit itu, Gregor kembali bersembunyi; dan dengan tekad untuk membebaskan keluarganya dari keberadaannya, ia pun mati.

Seperti layaknya karya klasik yang sudah melampaui ujian waktu, cerita ini patut dibaca meskipun jalan ceritanya terkesan suram dan absurd. Cara Kafka mengemas cerita membawa pembaca pada sebuah permenungan tentang makna identitas dalam arus perubahan. Sebuah kesan yang terus bergaung di seluruh isi cerita adalah perjuangan Gregor untuk diterima yang berujung sia-sia. Pesan dari cerita abad lalu ini pun masih menggema pada milenia ini; betapa banyak orang rela melakukan apapun hanya demi sebuah penerimaan yang terkadang bersifat semu. Usai membaca buku ini, saya sampai pada sebuah simpulan bahwa bukan pengakuan yang harus diperjuangkan, melainkan sebentuk sense of self-security, perasaan nyaman menjadi diri sendiri sebagaimana adanya. Karena ketika seisi dunia menolak, masih ada satu orang yang bisa mencintai kita: diri kita sendiri.

***
Catatan:
Coretan di atas adalah kesan saya atas sebuah buku berjudul Metamorphosis karya Franz Kafka, seorang penulis asal Praha, yang terbit tepat seabad lalu pada tahun 1915. Buku ini dapat diunduh gratis dalam versi Bahasa Inggris di sini.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline