Lihat ke Halaman Asli

Yang Disayangkan dari Solo Batik Carnival (SBC) 2011

Diperbarui: 26 Juni 2015   04:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Sejak pagi hari Sabtu (26/6/2011), saya mengunjungi pameran di Diamond Solo Convention Center yang diselenggarakan Kongres Kebangkitan Ekonomi Indonesia (KKEI). Lokasi itu berada di Jalan Slamet Riyadi yang dijadikan rute Solo Batik Carnival (SBC) 2011. Dengan demikian, saya cukup tahu perkembangan jalan sejak pagi yang masih digunakan lalu lintas kendaraan sampai sore harinya jalanan itu ditutup dan bakda Maghrib mulai didatangi warga.

Ketika pukul 18.00 saya membeli makanan di warung depan Diamond Hotel Solo, jalanan masih longgar. Warga Solo mulai berdatangan. Tampak di antara mereka duduk-duduk di pinggiran jalan. Tentu mereka berharap posisi itu cukup strategis sehingga bisa menikmati karnaval batik setahun sekali itu.

Sekitar pukul 19.15 saya bersama suami, anak dan ponakan kembali menuju halaman Diamond Hotel Solo, persis di sebelah panggung tamu VIP. Saat itu saya mulai kecewa dengan penyelenggaraan karnaval. Saya sama sekali tak bisa melihat apa yang terjadi di jalanan. Semua warga berdiri memadati jalanan. Bahkan ada ibu-ibu yang terpaksa naik di atas pagar hotel supaya bisa melihat pemandangan di jalanan. Padahal pawai batik belum dimulai.

Memang benar ini menunjukkan antusiasme yang tinggi dari masyarakat, namun seharusnya panitia mampu menertibkan penonton sehingga karnaval bisa dinikmati dengan baik. Kalau orang tua saja kesulitan melihat pemandangan apalagi anak-anak. Seharusnya panitia membuat aturan bahwa semua penonton wajib duduk di bawah.

Begitu iring-iringan pawai mulai melintasi tempat saya berdiri, saya hanya bisa geleng-geleng kepala. Saya tak bisa melihat apa-apa, kecuali kepala penonton yang berdiri. Saya tak melihat yang mana Nadine Alexandra Dewi Ames (Putri Indonesia 2010), Reisa Kartikasari (Putri Indonesia Lingkungan Hidup 2010) dan Alessandra Khadijah Usman (Putri Indonesia Pariwisata 2010).

Suami saya sempat mendekat dengan menggendong ponakan yang berumur 5 tahun. Tapi 5 menit kemudian sudah mundur ke belakang. Kenapa? Takut terjepit di antara kerumunan orang banyak, katanya.

Saya lihat ada aparat keamanan yang dilibatkan pada karnaval itu. Namun mereka tak berdaya menghadapi lautan massa yang berjubel memenuhi jalanan. Meskipun berkali-kali diingatkan panitia melalui microfon agar penonton minggir, sama sekali peringatan itu tak diindahkan. Semua ingin mendekat dan semua ingin mengabadikan momentum bersejarah itu. Akibatnya, ada sebagian penonton yang berhasil mendapatkan gambar putri-putri cantik karena berani nekat mendekat persis di samping peserta pawai, tapi penonton yang lain tidak mendapatkan apa-apa. Jangankan memoto, melihat putri-putri cantik saja, tidak.

Harapan saya untuk kegiatan serupa yang akan datang, supaya panitia menertibkan penonton. Jangan ada yang berdiri. Semua penonton wajib duduk sepanjang jalan yang dilalui karnaval. Biarlah karnaval dinikmati oleh semua warga di segala tingkatan: tua, muda dan anak-anak. Dan biarlah semua orang mempunyai kesempatan yang sama untuk mengambil gambar tanpa terhalang oleh kepala penonton yang lain.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline