Pagi ini, aku berbincang dengan seorang tukang parkir. Sebenarnya, lahan parkirnya tidak begitu jauh dari tempat tinggalku. Hanya saja, aku jarang bermain ke daerah tersebut. Meski usianya terlihat renta namun perawakannya tetap kece. Topi cowboy berwarna coklat, rokok yang menyelinap di antara bibir, dan lajunya gerak langkah membuatnya gagah bak jejaka. Tumpukkan uang kertas di tangan kirinya, cukup banyak. Mulai dari lembaran 2000, 5000, hingga 50.000.
Tak ada koin yang digenggam. Kehadirannya tidak diam-diam layaknya tukang parkir yang membuat banyak orang kesal. Dia tidak hanya muncul ketika pengendara hengkang. Sejak awal datang, matanya sigap mengarahkan, mencari celah ruang bagi pengendara roda dua dan empat yang mencari parkiran. Selain para pekerja, mereka biasanya pengendara yang ingin mengantar atau menjemput teman atau saudara yang tiba atau datang dari luar kota. Di kawasan ini memang berjejer agen P.O. (Perusahaan Otobus) yang melayani perjalanan antara kota mulai dari Jawa hingga Sumatera.
Saat tidak begitu ramai, kami akhirnya memiliki kesempatan untuk berbincang. Ia memperkenalkan diri dengan panggilan H. Daud. Usianya 76 tahun. Rupanya, dia orang minangkabau atau berasal dari sumatera barat. Kebetulan, Ibuku juga berasal dari daerah yang sama.
Maka, agar perbincangan semakin asyik, akupun memperkenalkan diri sebagai orang minang. Dan benar saja! Kami berbincang mengenai banyak hal. Ia bercerita mulai dari kegiatannya di usia muda, keluarganya, penghasilannya, hingga membagi petuah-petuah dalam kehidupan. Rasanya, seperti dapat kuliah 3 sks dengan dosen favorit. Di tengah perbincangan, aku pun memuji hasil pendapatan parkirnya dengan kemampuan bahasa padang seadanya.
"Banyak pitih apak yo! (Banyak juga uang bapak ya!)" Dengan semangat, Ia pun menjelaskan tentang penghasilannya dari memarkir. "Sahari, alah dibagi-bagi, paling ndak awak dapek ampek puluah ribu" (Sehari, setelah dibagi dengan yang lain, paling tidak saya bisa dapat mengantongi Rp.40.000). Aku pun menjawab, "Lumayan lah pak. Yang penting apak happy, lai bagarak, sehat wak, Pak! (Yang penting bapak happy, ada gerak, dan kita tetap sehat, Pak!)"
Setelah hampir satu jam ngobrol, aku baru sadar kalau di sekitar tempat kuberdiri, tertera cukup banyak nama H.Daud di spanduk agen yang berjejer. Dan ternyata, Pak Daud ini adalah pemilik kawasan agen bus antar kota. Ia juga menjadi pemilik 2 agen di lahan tersebut. Kira-kira, ada lebih dari 5 agen di sekitarnya. Selain itu, adapula rumah makan padang dan area parkir khusus. Rupanya, dia adalah juragan. Pantas saja, disela pembicaraan, orang seringkali menyapanya dengan hormat.
Ia pun menceritakan pendapatan sewa ruko yang dimiliki. Jumlahnya cukup fantastis. Sambil bercanda, saya pun meledeknya "Banyak pitih apak yo! (Banyak duit bapak ya!)". Tak hanya menceritakan tentang sepak terjangnya di dunia usaha, Pak Daud juga tidak lupa melontarkan peribahasa. Memang, orang minangkabau begitu terkenal dengan kemampuannya menggunakan bahasa kiasan. Sayangnya, saya tidak ingat sepenuhnya. Yang terekam hanya ini saja, "Capek kaki, ringan tangan (kaki cepat, ringan tangan)", jika dihubung-hubungkan, perumpaan tersebut kira-kira menggambarkan giatnya Ia bekerja meski punya usaha. Sungguh luar biasa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H