Dalam kesehariannya Alexandra terbilang wanita yang begitu mempesona. Kecantikannya tidaklah general. Mungkin, di benak kebanyakan orang, wanita cantik itu identik dengan rambut panjang, hidung mancung, kulit putih, tinggi semampai, yah baratlah acuannya. Tapi Alexandera berbanding terbalik. Namanya boleh popular digunakan di negeri barat, tapi ketimurannya melekat. Begitu pun dengan pakaiannya yang jauh dari brokat. Tapi, itulah yang membuat banyak orang terkesan padanya.
Kalau kata orang sekelilingnya, ia acapkali dibilang simpel dan tidak banyak cincong dalam berbagai hal. Bena adalah kawan dekatnya. Usia pertemanannya lebih dari 10 tahun. Kalau bertanya pada xandra, Ia tidak akan pernah mengingat persis berapa tahun berkenalan. Pasalnya, satu hal yang Ia tidak suka, memperhitungkan pertemanan. Saking tidak sukanya menyimpulkan kumpulan waktu, Ia pun hanya betah dekat pada satu teman saja. Bena tidak begitu banyak mengetahui kehidupan pribadi Xandra. Ia jarang bercerita. Berbicarapun, seperlunya. Tapi, Bena begitu senang bergaul dengannya. Aura positifnya memancar hingga merasuk dalam otak kusutnya. Akibatnya, moodnya yang seringkali berubah, bisa adjust jika bersamanya. Dalam pergaulan, Bena seringkali mengikuti kemana Xandra pergi. Ia pun mengaku terbawa harumnya perangai Xandra.
Di sisi lain, orang menilai Xandra banyak teman. Memang benar. Yang sekedar, tak terhitung. Bayangkan, setiap sudut kota, hingga pedalaman, ada saja yang Ia kenal atau bahkan kenal dengannya. Mungkin karena senyum Xandra yang tiada duanya. Keramahannya yang terpancar tulus, menjadi magnet bagi orang yang bahkan baru pertama kali mengenalnya.
Walau hari-harinya penuh keceriaan, namun saat orang bercerita, Ia lebih senang mendengarkan. Alhasil, layaknya Al-Amin yang julukkan pada Baginda Rasul, Ia pun begitu dipercaya. Bagaimana tidak, banyak yang bercerita tentang hal pribadi yang terkadang Ia pun merasa tidak pantas untuk mendengarkan. Namun, apa daya? Xandra jarang sekali menolak permintaan orang yang ingin bercerita. Ia pun heran, padahal kerjanya hanya mengangguk, menatap, mendengarkan, dan memberi tanggapan seperlunya. Ia baru akan memberi nasihat apabila diminta. Jika tidak, porsinya hanya sekedar saja. Tapi, ternyata itulah yang dibutuhkan oleh kebanyakan orang yang ditemuinya.
"Kalau kamu hanya bercerita padaku dan kamu mendengar ada orang lain berbicara tentang hal itu kepadamu atau orang lain, maka itu dari aku", ujar Xandra kepada siapapun yang mengingatkannya untuk tidak bicara kepada siapa-siapa jika seseorang bercerita padanya. Rupanya, itulah yang membuat orang nyaman berkeluh-kesah padanya. Hingga akhirnya, Xandra begitu kaya dengan permasalahan orang. Dari pengalaman tersebut, Ia mampu berimajinasi, masuk ke dalam belenggu persoalan hidup hingga sesekali terperangkap dalam pemikiran masalah orang. Dalam doa, Xandra selalu melontarkan kalimat favoritnya, "Tuhan, berikanlah aku kemampuan untuk menyelesaikan beragam persoalan". Jika orang lain mengharapkan kemudahan, Ia justru berani menerima tantangan baik dalam bentuk ujian maupun persoalan. Xandra memang beda. Ia tidak memaksa untuk menjadi beda. Tapi secara natural, memang Ia tak sama. Ia pun tak butuh citra karena cahaya menembus pori-porinya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H