Lihat ke Halaman Asli

Ada Apa dengan Wisma Atlet?

Diperbarui: 18 Desember 2021   17:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Semakin ke sini, karantina di wisma atlet semakin tidak kondusif. Lebih kental terasa "proyeknya". Jika bepergian ke wilayah eropa, sudah tidak ada satupun negara yang mewajibkan karantina majemuk. Beberapa negara, menetapkan karantina mandiri, sementara negara lainnya membebaskan dengan syarat vaksinasi.

Sementara di Indonesia, apabila kita merupakan rakyat jelata yang sekolah maupun tenaga kerja indonesia di luar negeri, hanya bisa meratapi nasib digiring ke wisma atlet. Ya, hal ini tentu berbeda dengan yang berduit, pastinya memilih hotel untuk proses karantina. Tapi, saya yakin tidak ada yang senang dengan durasi panjang di tempat penampungan.

Satu tahun lalu, saya menjalani karantina di wisma atlet. Prosesnya memang terkesan lucu tapi untungnya tidak terlalu lama. Hanya tiga hari. Jadi, saya pun masih bisa menahan sekaligus penasaran ingin merasakan prosedur karantina di wisma atlet.

Dari bandara, saat itu langsung dijemput oleh petugas tentara. Untungnya, waktu itu tidak memakan waktu yang begitu lama. Jika baru-baru ini teman saya yang pulang ke indonesia harus menghabiskan waktu lebih dari 10 jam untuk bisa sampai di wisma atlet, saat itu saya hanya kurang lebih 2 hingga 3 jam.

Setibanya di bus, petugas tentara menawarkan kartu telepon dengan harga yang lumayan fantastis dengan iming-iming tidak ada wifi dan lain sebagainya. Ini memang agak gimana gitu tapi yasudahlah, namanya orang mencari rejeki. Manatau maksudnya memang mau membantu, walau begitu.

Kemudian, setibanya di wisma atlet, sebelum turun, kami diminta memberi donasi untuk sopir bus. Memang seikhlasnya. Ya, karena orang indonesia banyak yang tidak enakan, maka ada saja yang mengeluh walau tetap memberi. Eh kebalik deng.

Lalu, kami kembali diberi masukan oleh petugas tentang peraturan wisma. Namun, setelah itu ada orang asing masuk. Yakni pedagang kaki lima yang menawarkan kulakannya. Mulai dari bakso, nasi goreng, dan lain sebagainya.

Dari proses sebelum menginjakkan kaki di wisma saja, sudah beragam interaksi kami hadapi. Belum lagi di wismanya. Terlihat orang bebas berada di lorong, nongkrong. Kondisi lift yang tidak memadai dan waduhlah pokoknya. Lalu, sepertinya kok malah kami dihadapkan dengan virus ya.

Apalagi ternyata saat ini kita diharuskan tes PCR 2 kali. Selama berada di luar negeri, baru di Indonesia sih yang saat tiba dicucuk 2 kali. Ini supaya PCRnya habis atau benar-benar untuk menerawang virus ya?

Belum lagi soal kendaraan ketika pulang. Bau cuannya kecium sekali. Yang saya kasihani adalah para tenaga kerja Indonesia yang tidak punya pilihan, yang takut bicara, dan tidak begitu tahu wilayah. Jadi, pasrah saja ditembak dengan harga menjulang.

Apa yang bisa diharapkan selain dengan doa. Jika membandingakan Indonesia dengan eropa memang cukup jauh. Terutama mental cuannya. Kalau sudah begini, saya hanya bisa berdoa karena biasanya doa orang terdzolimi, terkabul. Semoga pemangku kebijakan semakin bijak. Yang berproyek, merasa cukup dan diberi kesadaran, dar, dar, dar! Ammiin.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline