Lihat ke Halaman Asli

Apapun yang Dilakukan Tanpa Keluh Adalah Sebuah Kenikmatan

Diperbarui: 6 Agustus 2021   14:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Manusia idealnya mencari apa yang ia senangi. Tapi tak jarang, dalam hidup, yang kita miliki tak melulu sesuai ekspektasi. Pekerjaan misalnya. Ada yang berkeinginan jadi pemusik, bukan gitar yang dipegang tapi malah tangkai sapu. Namun bukan tidak mungkin, tangkai sapu menjadi awal perjalanannya untuk menjadi musisi.

Contoh kasus ini mungkin tidak satu atau dua kali ditemui dalam kehidupan sehari-hari. Bukan perkara keahlian tapi ada pula keberuntungan. Namun, jika dalam tahap pertama sudah sadar akan rasa syukur, hambatan apapun akan dilalui meski mungkin hasilnya tak selalu berhasil. Gagal, bisa menjadi pemanis, pecutan, atau apapun itu tergantung mereka yang bercerita akan keberhasilannya di suatu atau berbagai bidang. Jadi, mestinya sudah tidak relevan jika kita selalu menyalahkan si gagal.

Bicara soal pekerjaan dan kepuasan, juga seringkali berkaitan. Ada orang yang menempuh pendidikan dengan cita yang direncanakan. Adapula orang yang tidak tahu akan bekerja di bidang apa jika kelak sarjana. "Jika yang berencana saja belum tentu mendapat pekerjaan sesuai harapan, apalagi yang tidak?" keluh banyak orang. Tapi bisa jadi sebaliknya, yang tidak berencana justru memiliki profesi yang dinanti oleh orang lain.

Pekerjaan yang berbeda dari harapan ini tak jarang menjadi awal mula rasa resah yang mengganggu emosi. Tak jarang dijadikan alasan karena performa yang menurun. Padahal sebelum menerima, kita memiliki hak untuk menolak. Tapi, kata ajaib "coba saja dulu, ntar juga bisa" menjadi kata penyemangat sehingga sewajarnya banyak manusia berhasil melewati ujian pertama hingga akhirnya menerima.

Lalu, mengapa mantra ini hanya dipakai diawal saja? Ada banyak faktor yang menjadi ujiannya. Bisa jadi karena kerabatnya bekerja dengan waktu lebih singkat, pekerjaan lebih ringan, namun honor lebih besar. Ada pula rasa iri karena mestinya Ia yang bekerja di bidang itu karena merasa lebih menguasai. Penyakit hati yang tertanam di dalam diri seringkali menjadi pemicu keluh terhadap apa yang sedang dikerjakan hingga seseorang lupa bahwa Ia berada di posisi lebih dibandingkan orang yang tidak punya.

Namun, itulah manusia. Rasa tidak puas akan terus melekat tanpa pandang usia. Di sisi lain, rasa syukurlah yang bisa membatasi prahara dalam jiwa. Menengok ke bawah sejenak dan menikmati yang ada saat ini, adalah hal mudah untuk menepis keluh agar tidak merusak otak hingga akhirnya mempengaruhi gerak. 

Rumah bapak kos Dominelli, Rende.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline