" Indah...Nino...Ayo cepat bangun ! sudah hampir subuh !" teriak Ibu dari dalam dapur sederhana kami. " Iya, Bu." Jawabku sambil mengucek mata yang belum bisa diajak bekerja sama. Aku masih mengumpulkan ruh ku seusai bangun tidur. Tampak dinding triplek yang tambal sulam, ditambah gambar abstrak tak bermakna, sungguh dinding yang penuh "warna", terlihat pula lemari pakaian yang sudah tidak tampak bentuk aslinya karena termakan usia.
Aku menguap sejadinya sambil mendongak, tidak ada plafon rumah yang membatasi dengan atap asbes rumah. Ku paksakan mataku untuk terbuka. Kulihat Nino yang masih tertidur lelap dengan selimut kumalnya. Ku tundukkan kepala sejenak memperhatikan kasur satu-satunya milik kami, itu pun sebenarnya hanya busa yang dibungkus Ibu dengan seprai bekas. "Ternyata kamarku"gumamku setengah sadar.
"Lauknya cuma tempe goreng, Bu.Kapan kita makan ayam?"tanya Nino yang sedang sarapan tanpa semangat. "Alhamdulillah, masih ada nasi dan tempe yang dimakan, banyak orang di luar sana yang kelaparan."sahut Ibu sambil mengelus kepala Nino. "Bu, sarapan Bapak yang dibawa mana?"tanyaku sambil merapikan seragam putih merahku. "Sudah Ibu siapkan, ini"jawab Ibu sambil meletakkan kresek hitam di dekat tasku."Ayo, Nino cepetan sarapannya, nanti kita terlambat!."ucapku setengah berteriak.
Sekolah kami letaknya tidak jauh dari rumah. Jadi, aku dan Nino, adikku, terbiasa untuk berjalan kaki ke sana. Sebelum ke sekolah kami mampir ke tempat kerja Bapak untuk mengantarkan sarapan, karena Bapak sudah berangkat setelah sholat subuh. Ku lihat dari kejauhan Bapak nampak sudah sibuk mengatur lalu lintas. "Ayo, kiri...kanan...terus..." terdengar suara Bapak memberikan instruksi. "Bapak !!!" teriakku memanggil pria kesayanganku. Sambil ku genggam tangan Nino aku setengah berlari ke arah Bapak.
"Pinter anak-anak Bapak, sudah siap ke sekolah ?"tanya Bapak kepada kami. " Sudah, Pak.Ini sarapan dari Ibu, kesenangan Bapak tempe goreng"ucapku sambil tersenyum.Bapak menerimanya dengan suka hati karena katanya sudah lapar. "Ayo, Kak cepetan nanti terlambat nih !"ucap Nino dengan nada kesal. "Iya sebentar, kan yang lama juga kamu tadi"jawabku. "Sudah jangan bertengkar, Nino benar Indah, segera kamu berangkat, nanti keburu masuk sekolah" ujar Bapak melerai. Aku dan Nino bersalaman pada Bapak sebelum akhirnya kami melanjutkan perjalanan ke sekolah."Hati-hati ya, sekolah yang baik supaya jadi anak sukses dunia akhirat."pesan ayahku.
"Kamu kenapa bersikap seperti itu sama Bapak ? tanyaku pada Nino. "Maksudnya apa, Kak ? Sikap Nino biasa aja."jawab Nino acuh. "Kakak perhatikan beberapa hari ini kamu bersikap dan berbicara kurang sopan pada Bapak, jadi suka ngelawan.Tadi juga Bapak menyapa kamu diam aja" ujarku gemas. "Kakak mau tau kenapa? Nino malu, Kak.Teman-teman Nino selalu mengejek Nino di sekolah, katanya anak pak ogah.Kenapa sih Bapak ga cari pekerjaan lain yang ga malu-maluin, kayak pekerjaan bapaknya teman-teman Nino. Nino malu pokoknya" ucap Nino sambil berlari masuk ke gerbang sekolah. Aku hanya menghela napas melihat adikku yang terpaut tiga tahun usianya berlari kencang.
Sejenak aku menoleh ke belakang. Dari kejauhan masih terlihat Bapak yang mengatur lalu lintas. Sudah beberapa tahun ini semenjak virus covid-19 merebak, Bapak harus berhenti dari pekerjaannya di sebuah pabrik. Sejak saat itu Bapak menafkahi kami dengan menjual jasa mengatur lalu lintas pada rel kereta tak berpalang pintu. Bahkan Bapak membuat palang pintu kereta seadanya dengan harapan sekaligus dapat membantu orang-orang yang menyebrang rel kereta api agar tidak terjadi kecelakaan. Sebenarnya bukan Nino saja yang diejek oleh teman-teman sekolah, aku juga sering. Bedanya aku tidak mempedulikan ejekan mereka. Mungkin karena Nino baru kelas satu, dia belum memahaminya. Kelak akan aku buktikan semua ejekan mereka dengan prestasi yang ku raih."Kring....kring....kring..."suara bel masuk sekolah mengejutkan lamunanku, dengan tergesa aku berlari menuju kelas.
***
"Walaikumsalamwrwb. Sudah pulang, Pak? Sambut ibu sambil mencium tangan Bapak. Aku setengah menarik tangan Nino juga ikut mencium tangan legam Bapak."Pak, tadi Indah ulangan matematika dapat 100"laporku pada Bapak. "Wah, Alhamdulillah anak Bapak memang pintar"ucap Bapak bangga. "Kalau Nino, bagaimana?"tanya Bapak. "Nino kan ga pinter, jadi ga dapet nilai 100"jawab Nino. "Nino, In syaa Allah bisa juga yang penting rajin ya"hibur Bapak tersenyum.
"Tadi ada kecelakaan lagi di rel, mobil menyenggol sepeda motor.Yang naik sepeda motor luka nya cukup parah, jadi langsung dibawa ke rumah sakit"cerita Bapak sambil makan malam bersama."Bapak nolongin mereka?"tanyaku penasaran. "Ga cuma bapak, semua orang juga nolongin" terang Bapak. Bapak selalu menceritakan kejadian yang ada di rel kereta, dari mulai kecelakaan, orang yang tidak mau antri, orang yang marah-marah karena diingatkan Bapak dan lain-lain. Tujuannya agar kami bisa mengambil pelajaran dari itu semua.
Tak ada tanda marah atau kesal dari raut wajah Bapak saat menceritakan itu semua. "Tadi Bapak juga sudah mengembalikan dompet yang jatuh di pinggir rel kereta"cerita Bapak kembali."Kenapa dikembalikan, Pak?kan salah dia sendiri yang jatuhin.Kan lumayan uangnya bisa kita pakai"ujar Nino sekenanya. "Nino, walaupun kita hidup pas-pasan tapi kita bukan pencuri, tidak bleh mengambil barang yang bukan punya kita. Kasihan orangnya yang punya dia pasti juga kesulitan"jawab Bapak.