Lihat ke Halaman Asli

Ibu Si Penuntun Putra

Diperbarui: 6 Maret 2023   11:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Peran Ibu. dokpri

Bu,  hari ini aku melihat sosokmu pada seorang wanita lain yang berjalan di pandanganku.  Menggendong seorang putra 4 tahun,  menenteng sendal swalow hitam sang anak.  Bu,  aku melihatmu di persimpangan jalan pagi ini.  Aku tak mengira siapa dirimu,  asing dan bukan di seputaran kampung ku.  Lantas aku masih memikirkanmu,  pun ketika banyak tanya yang ku sampaikan pada pencipta di tengah malam silam.  Banyak air mata yang dikeluhkan pada gelapnya dunia,  kini pagi menjelang sembari mengendarai kereta supra milik bapak masih mengingatmu dalam-dalam juga putra kecil yang kau papah perlahan. 

Bu,  pertemuan kita seolah takdir.  Orang asing,  dari simpang perjalan yang jauh menuju tempat yang juga jauh, (kec.  Jagong menuju-berawang gading)   Bu,  aku menatap sosok mu lagi dalam lamunanku.  Jawabanku semalam akhirnya sampai melalui perantaraanmu.  Tidak saling mengenal,  kesal juga tak bertanya nama yang ku kira adalah privasimu. Khawatir aku akan menyinggung perasaanmu dengan banyak pertanyaanku. 

Bu,  pagi ini aku belajar darimu artinya syukur,  ikhlas dan perjuangan. Kita dua orang asing,  namun akrab di perjalanan.  Maaf bu,  aku mengantarkanmu hanya pada depan masjid yang kurasa aman bagimu dan anakmu.  Si adik kecil yang sempat ku tahu namanya,  sedangkan ibu adalah sosok yang seolah sebaya denganku. Sungguh selepas mengantarmu,  aku bertanya-tanya mengapa engkau berjalan begitu jauh sendiri memapah putramu. 

Perjuanganmu membuatku goyah,  jika itu adalah diriku apa yang pantas ku lakukan. Mungkin saja aku akan menyerah dan kembali pulang,  ada apa dalam perjalananmu itu.  Berapa banyak duka yang di sembunyikan dari baiknya senyuman. 

Bu,  yang tak punya nama. Sosokmu benar-benar menunjukkan semangat,  menginspirasi dan memenuhkan motivasiku dalam 15 menit perjalanan kita. Bu,  Aku ingin menangis kala melihat betapa sombongnya,  angkuhnya jiwa dan tak berdayanya diri pada kenyataan ini.  Sontak,  peristiwa pagi ini menampar kesadaranku.  Bu,  hati-hati diperjalanan jika saja andai ku kesampaian.  Ingin segera ku antar menuju apa yang kau inginkan. Sayang,  batasku hanya sampai pada iba dan kasihan.  Mungkin saja,  hal lain membelenggu jiwaku hingga tak sepenuhnya mampu membantu.  Akhirnya aku menyadari betapa diri ini kosong dari banyaknya hal baik yang bisa dilakukan.  Bu terimakasih karenamu aku mendapat banyak pelajaran di hari ini. 




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline