Cirebon - Hari Kartini adalah hari dimana kesetaraan antara wanita dan pria digaungkan di Indonesia. R.A. Kartini, seorang pahlawan perempuan Indonesia yang berhasil memperjuangkan emansipasi gender dan menyuarakan hak-hak kesetaraan pada masa lalu. Dari masa kecil, remaja, dan karya hidupnya secara lengkap, Kartini merupakan simbol nasional kita yang luar biasa. Serta berkatnya pun di era globalisasi digital ini kita dapat tetap merasakan manfaat hak-hak kesetaraan di masyarakat.
Pada era digital, peran media sosial tak hanya sebatas bertukar pesan ataupun hiburan tapi juga sebagai cara baru dalam memperoleh dan mempelajari edukasi baru secara cepat dan efisien. Bahkan media sosial dikategorikan sebagai media yang memiliki pengaruh yang paling kuat dalam perubahan pola hidup dan pola pikir generasi remaja saat ini.
Remaja, khususnya millenial dan Gen z sebagai generasi yang paling terpengaruh oleh era digital. Mereka memegang peran penting dalam mendorong pemahaman dan membangkitkan kesadaran akan visi Kartini dalam membangun kesadaran akan kesetaraan antara perempuan dan laki-laki.
Media sosial seperti instagram dan tiktok menjadi platform paling digemari dan media yang kontennya menjadi konsumsi remaja sehari-hari. Terutama mahasiswa Universitas Islam Negeri Siber Syekh Nurjati (UINSSI) Cirebon jurusan Ilmu Komunikasi yang baik tugas maupun kegiatannya selalu berkutat pada media.
" Walaupun medsos rata-rata isinya emang random ya tapi waktu itu sempet liat ada konten Jefri Nichol yang dia pake pakaian cewe trus diposting di media sosialnya trus ngomong kalo dia lakuin itu karena dia ga merasa masculinity-nya ga fragile karena maskulin tuh ga dinilai dari pakaian." ujar Fadli, salah satu mahasiswa Komunikasi UINSSI Cirebon.
Fadli pun menjelaskan bahwa dari konten tersebut ia melihat pandangan baru terhadap kesetaraan dimana di dalamnya berisi tentang bagaimana seorang laki-laki yang memiliki peran maskulinitas dan wanita dengan feminimitasnya. Kesetaraan harus dinilai berdasarkan peran dan tanggung jawab dari individu itu sendiri bukan hanya dari hal subjektif seperti apa yang dia sukai atau perbuat seperti hobi, namun dari peran dan tanggung jawabnya.
Berbeda dengan Saskiya yang mengungkapkan " menurut aku kalo dibilang kesetaraan sih tergantung gimana lingkungan sama masyarakatnya. Soalnya ada tuh waktu itu di tiktok konten yang isinya tentang alasan kenapa cewe selalu dapet stigma negatif. Dari situ aku jadi tau sih ternyata emang kesetaraan itu bisa berlaku tapi nyesuain sama nilai sama masyarakatnya aja."
Dari pendapatnya cenderung memiliki opini bahwa kesetaraan itu bisa terlaksana dengan baik namun ada beberapa hal yang membuat kesetaraan itu dibatasi jika disandingkan dengan nilai dan norma di suatu masyarakat. Melalui tiktok, menimbulkan kesan bahwa kesetaraan itu sifatnya adaptibility karena ada beberapa hal yang harus tetap berpedoman pada sistem yang berlaku dari masyarakat satu ke yang lain.
Berangkat dari kedua pandangan ini, tak hanya dari kacamata media namun perlu kita ulas bagaimana lensa kartini dengan gagasannya berperan. Emansipasi perempuan dan kesetaraan gender dari dulu ia perjuangkan. Memberantas budaya patriarki perempuan, dan membangkitkan keseimbangan antara laki-laki dan perempuan.
Melalui hari kartini ini, para remaja di era digitalisasi diharapkan dapat tetap memegang teguh visi kartini yaitu kesetaraan dan keseimbangan harus diiringi dengan intelektual tinggi. Serta mempertahankan penilain objektif terkait peran laki-laki dan perempuan melalui peran dan tanggung jawabnya.