Suatu waktu saya berkesempatan memberikan konsultasi untuk sebuah perusahaan keluarga di Jakarta yang bergerak di bidang tambang. Yang menghubungi saat itu adalah putra pertama dari generasi kedua pendiri perusahaan yang baru saja menjadi yatim, karena ayah sekaligus pendiri perusahaan wafat akibat sakit keras. Putra almarhum menghubungi saya dengan tujuan untuk meminta bantuan saya mengenai rekomendasi orang yang dianggap mampu menduduki posisi Direktur Utama menggantikan ayahnya yang telah wafat. Ketiba-tibaan Adi (nama disamarkan) datang menemui saya tentunya memunculkan rasa "penasaran" saya untuk mengetahui lebih lanjut apa penyebabnya. Bukankah perusahaan yang didirikan keluarga biasanya sudah ada penerusnya? Begitu pemikiran saya saat itu, ternyata tidak dan bahkan tengah dalam krisis dan konflik internal keluarga.
Konflik internal tersebut terjadi paska wafatnya ayah Adi, pada hari kesekian sepeninggal ayahnya kericuhan terjadi di dalam tubuh manajemen perusahaan. Adik almarhum ayah Adi tiba-tiba datang ke perusahaan yang saat itu tengah diserahkan pada Nona yang merupakan adik ipar almarhum ayah Adi dan dipercayakan sebagai ad interim Direktur. Adik almarhum, sebut saja Bambang saat itu mengklaim dirinya sebagai orang yang berhak melanjutkan perusahaan keluarga, dan merasa berhak untuk mengambil alih perusahaan. Bambang menjadikan kekuatan hukum penguasaan perusahaan karena adanya secarik surat yang ditulis tangan oleh almarhum beberapa saat sebelum wafat. Menariknya, menurut Nona yang beberapa waktu setelah pertemuan dengan Adi kemudian berdiskusi dengan saya, surat yang dijadikan dasar oleh Bambang pun tidak pernah dilihat oleh keluarga besar.
Ironisnya, setelah Bambang datang ke perusahaan saat itu, semua rekening diblokirnya, dan penggajian secara otomatis berhenti. Belum lagi sewa ruangan kantor yang juga ikut-ikutan belum dibayar, sehingga mendapat teguran dari Building Management. Kondisi yang ruwet ini kemudian memicu Adi untuk membuat perusahaan tandingan dengan menggunakan sumber daya yang masih bisa bekerja sama, diantaranya adalah sumber daya manusia yang loyal. Kondisi ini tentunya adalah harapan yang ingin diraih oleh Adi selaku penerus perusahaan yang seharusnya, sayangnya tidak ada tertulis hitam di atas putih melalui akte perusahaan atau testamen warisan yang menyebutkan siapa dari pihak keluarga yang berhak mengambil alih perusahaan seandainya pendiri perusahaan mangkat.
Kelemahan nomor satu yang dimiliki oleh bisnis milik keluarga adalah tidak adanya surat menyurat mengenai urutan hak di dalam kepemilikan bisnisnya. Kemudian, perjanjian kerja antara pendiri perusahaan dan pengelola perusahaan bahkan keluarga yang berisi mengenai lingkup tanggung jawab. Sehingga, tidak mengherankan seandainya terjadi konflik di antara pengelola bisnis keluarga yang masih murni melibatkan keluarga. Meskipun disadari, bahwa konflik internal biasanya akan berujung pada boikot, yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam keluarga kepada pihak lainnya di dalam keluarga. Meskipun disadari dari beragam kasus bahwa kekuatan bisnis milik keluarga adalah pada keterikatannya, sehingga tidak heran seandainya bisnis milik keluarga sebenarnya merupakan laboratorium bisnis keluarga yang melibatkan seluruh pihak di dalam keluarga.
Dalam teorinya, banyak diungkapkan mengenai tips-tips yang dapat ditempuh dalam rangka menghindari munculnya konflik sepeninggal pendiri bisnis, tapi apakah bisa diterapkan pada fokus bangsa Indonesia? nampaknya tidak, mengapa? karena mayoritas bisnis yang didirikan di dalam keluarga akan mencampurkan unsur nilai-nilai yang dianut di dalam keluarga. Dengan kata lain, apa yang dilakukan di keluarga juga dilakukan di dalam bisnis yang dikelola bersama keluarga. Bisnis yang didirikan keluarga di Indonesia, biasanya menunjukkan dua pola, pola pertama adalah orang tua yang mendirikan bisnis berusaha mengajak serta saudara-saudara di dalam keluarga besar untuk terjun ke dalam dunia bisnis selama anak-anak yang merupakan keturunan langsung belum dikatakan siap atau tidak menunjukkan minatnya berbisnis bersama keluarga. Pola kedua adalah orang tua telah menggiring putra putrinya untuk terlibat di dalam bisnis yang dijalankan sejak usia dini, dengan harapan bahwa pada akhirnya putra putrinya akan mampu meneruskan bisnis tidak hanya dari sisi operasional juga dari sisi nilai yang sama seperti yang diterapkan oleh orang tua Pola ketiga adalah pada saat pendiri bisnis tidak peduli apakah bisnis yang didirikannya akan diteruskan oleh keluarga atau di luar keluarga, karena pendiri bisnis berpikir untuk mendirikan bisnis dan menjalankan, bukan melanjutkannya.
Kemudian, bagaimana implikasi dari ketiga pola tersebut ketika terjadi mangkirnya pendiri bisnis? Tentunya akan berhubungan dengan siap tidaknya generasi penerus BMK. Pola pertama, cenderung tidak khawatir mengalami gejolak dalam penerusan bisnisnya, meskipun ketika pendiri bisnis mangkat tentu BMK merasa kehilangan figur orang yang menjadi panutan. Pola kedua cenderung mempersiapkan penerus bisnis lebih awal, dan meskipun ada risiko penerus yang “digadang-gadang” tidak memiliki hasrat yang sama dengan pendiri BMK, namun setidaknya jiwa bisnis sudah ditularkan sejak dini. Pola ketiga, cenderung tidak ada kekhawatiran apakah BMK akan berlanjut atau tidak, karena dari sejak awal pendiriannya tidak ada hasrat untuk terobsesi menjaga kelangsungan BMK. Baik pola pertama, kedua maupun ketiga memiliki nilai tambah dan kurang, setidaknya hal ini yang terjadi dalam konteks BMK di sekitar kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H