Membaca sekilas makalah yang ditulis oleh Martin Hearson yang menganalisis mengenai negosiasi perjanjian pajak dalam hal ini lebih focus membahas negara-negara bekermbang, yang mana beliau memperkenalkan perspektif rasionalitas terbatas, Pada makalah tersebut dijelaskan bahwa permasalahan yang terjadi dewasa ini yaitu kesesuaian jaringan perjanjian pajak yang memberikan keuntungan pada negara-negara berkembang. Dengan demikian negara-negara berkembang menjadi lebih semangat dalam menjalin kerjasama atau negosiasi perjanjian penghindaran pajak berganda kepada berbagai negara maju atau bisa juga dengan negara-negara berkembang lainnya.
Pergerakan perluasan sumber daya dan dana terjadi pada negara-negara maju dan negara-negara berkembang serta antara kedua negara kelompok negara tersebut bisa terjadi pada negara maju dengan negara berkembang, negara maju dengan negara maju dan negara berkembang dengan sesame negara berkembang tergantung inisiatif dan keperluan dari kedua negara yang terlibat dalam perjanjian perpajakan. Disamping memberikan manfaat bersama, kegiatan atau transaksi antar negara tersebut memberikan penghasilan yang bersumber di negara tempat dimana investasti terjadi atau tempat terjadinya kegiatan atau aktivitas yang selanjutnya dikirim ke negara tempat investor atau pelaku kegiatan bertempat kedudukan. Bagi kedua negara tersebut, penghasilan merupakan sasaran pemajakan atas dasar pertalian yang tidak sama sesuai dengan yang tertulis dalam domestic masing-masing negara.
Negara-negara berkembang dapat mempengaruhi pergerakan modal dari negara yang satu dengan negara yang lain. Bagaimana tidak, seperti yang kita ketahui negara berkembang pasti dalam fase pembangunan secara besar-besaran sangatlah membutuhkan modal dari negara asing, tenaga asing serta teknologi yang lebih mutakhir tanpa menyebabkan ketergantung negara-negara berkembang secara terus menerus pada negara-negara maju. Dalam mengatasi ini, negara berkembang secara unilateral berupa pembebasan pajak atau insentif pajak yang sangat menguntungkan, untuk menarik investor menanamkan modalnya di negara berkembang.
Mobilitas modal pada akhir-akhir ini merupakan pergerakan ke satu arah yaitu dari negara maju ke negara berkembang sehingga jika diperhatikan, maka P3B lebih memberikan manfaat atau keuntungan kepada pemolik modal asing yang berkedudukan di negara maju daripada pemilik modal yang berkedudukan di negara berkembang. Karena jarang sekali pemilik modal di negara berkembang menanamkan modalnya di negara maju, persentanse pasti kecil karena modal yang ada di negara maju masih sangat dibutuhkan negaranya sendiri. Jadi semakin banyak kegiatan atau transaksi yang dilakukan oleh negara berkembang ke berbagai negara maju atau mungkin juga dengan negara berkembang lainnya maka banyak perjanjian yang ditandatangani oleh negara berkembang, semakin baik hasil negosiasi yang diperolehnya. Seperti pepatah yang mengatakan "jika sudah bisa makan akan terbiasa".
Negara-negara berkembang harus mengerti bahwa negara-negara maju pasti memiliki pandangan positif terhadap kepentingan negara berkembang. Kita ambil salah satu contoh, Negara Belanda yang mempunyai 19 jaringan P3B dengan negara-negara berkembang, yang di dalamnya memberikan hasil yang baik bagi mereka. Hal yang terjadi justru pada saat pemerintah Belanda mencoba memberikan penawaran pada revisi draft P3B dengan 9 dari 19 negara tersebut untuk memperoleh P3B yang lebih baik dari sebelumnya, Sampai saat ini mereka tidak merespons tawaran yang diajukan.
Dapat kita lihat bahwa problema yang sedang dihadapi negara-negara berkembang yaitu ketidakcepatan mereka dalam merespons potensi-potensi yang ada dari koordinasi pajak internasional. Sebagian besar dari mereka kurang terorganisasi dalam mengambil potensi secara cekatan, negara-negara berkembang cenderung menunggu dan lama memberikan respon karena mungkin diskusi yang cukup lama dan pertimbangan-pertimbangan pihak yang berwewenang sangat lama. Negara berkembang harus lebih baik dalam melihat potensi atau peluang dan cepat bergerak untuk segera menyatakan keputusan mereka apakah mau melanjutkan negosiasi atau tidak. Jika tertarik dalam tawarannya maka akan dilanjutkan ke renegosiasi jika diperlukan, tetapi jika isi dari draft P3B dari tawaran tersebut sesuai dengan ketentuan dan memberikan manfaat atau keuntungan bagi kedua belah pihak maka dilanutkan ke pengesahan dan penandatanganan
Kita ambil contoh penerapan P3B antara Indonesia yang merupakan negara berkembang dengan Jepang seperti kita ketahui merupakan negara maju. Pada tax treaty ini, bisa dikatakan sebagai salah satu perjanjian pajak yang sangat khas. Tidak hanya karena beberapa ketentuan-ketentuan didalamnya yang mencerminkan masih rendahnya tingkat negosiasi Indonesia. Namun, karena salah satu perjanjian pajak tersebut merupakan tax treaty yang amat sulit untuk dilakukan renegosiasinya.
Keunikan itu salah satunya dapat dilihat dari mekanisme untuk menentukan test waktu dalam penentuan ada tidaknya Bentuk Usaha Tetap (BUT). Perjanjian pajak Indonesia dengan Jepang menghabiskan jangka waktu 183 hari. Jangka waktu tersebut dapat kita kategorikan cukup lama dalam penentuan ada atau tidaknya BUT bila dibandingkan dengan kebanyakan time test dalam perjanjian pajak. Menambah keunikan tadi, periode penhitungan jumlah hari yang tadi juga tidak memakai jangka waktu 12 bulan yang dihitung pada saat kedatangan melainkan memakai jangka waktu Januari sampai dengan Desember. Kebijakan atau ketentuan ini, dapat memunculkan celah yang lebih luas dalam melakukan perencanaan pajak (tax planning) guna menghindari dikenakannya pajak dinegara sumber penghasilan.
Pertengahan tahun 2017 Indonesia yang merupakan negara berkembang menandatangani perjanjian pajak internasional dalam hal pencegahan praktik-pratik yang sering sekali dilakukan oleh wajib pajak pribadi maupun badan untuk memperbesar keuntungan mereka dan menekan beban pajaknya. Bersama 68 negara dan akan segera disusul oleh 30 negata lainnya yang sudah bekerjasama dengan Indonesia, untuk pencegahan penghindaran pajak dalam bentuk penyalahgunaan pajak berganda (tax treaty). Apabila Indonesia yang merupakan negate berkembang yang sangat mengandalkan sumbangan perpajakn dalam pembangunan infrastruktur maka Indonesia harus mampu mengumpulkan pajak, khususnya dari kelompok terkaya atau saat ini sering disebut dengan istilah crazy rich dan masyarakat yang ekonominya mampu, maka kita akan sangat bisa membangun sekolah, yayasan madrasah, dan tingkat pendidikan yang lebih baik pastinya dengan fasilitas yang memadai,
Terdapat dua model utama P3B yang sering digunakan sebagai tolak ukur dalam perjanjian internasional, yaitu Model OECD dan Model UN. Tetapi masing-masing negara dapat mengembangkan sendiri model perjanjian mereka tidak ada aturan khusus yang melarang hal ini. Indonesia sebagai negara berkembang turut mengembangkan model perjanjian dengan penggabungan dari kedua model tersebut, yang disebut Model Indonesia.