Lihat ke Halaman Asli

Selain Anak SBY, Ada Lagi yang Bisa Dijual Oleh Agus?

Diperbarui: 25 November 2016   22:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Agus Harimurti Yudhoyono, mengejutkan banyak kalangan ketika dijagokan untuk ikut bertarung dalam kontestasi Pilkada DKI Jakarta oleh Porok Cikeas yang didukung oleh Demokrat, PPP, PAN, dan PKB. Entah atas pertimbangan apa, Agus kemudian memutuskan untuk mengiyakan, dan meninggalkan karirnya di dunia militer yang disebut-sebut cukup cemerlang. Kita mungkin tidak habis pikir, karena ini memang diluar dugaan. Tapi politik memang selalu menyajikan kejutan-kejutan. Setali tiga uang dengan calon wakilnya, Sylviana Murni, tak banyak masyarakat luas yang mengenal sosoknya. Ia sangat berpengalaman dalam dunia birokrasi, hebat, dan handal. Tapi Pilkada, meniscayakan adanya elektabilitas.

Untuk Pilkada sekelas DKI Jakarta, Ibu Kota negara, miniatur Indonesia, dengan segenap potensi dan kompleksitasnya, tentu yang ada di benak kita adalah calon-calon hebat, malang-melintang dengan sejuta pengalaman, tokoh yang banyak dikenal dan mempunyai modal sosial politik yang kuat, berprestasi dengan kinerja yang sudah terbukti, mempunyai track record yang mentereng, dan tentu saja elektabilitas yang mencukupi. Tapi apa yang menjadi keputusan bulat Poros Cikeas sungguh di luar pikiran mainstream kebanyakan. Mereka menampilkan sosok baru, Agus Harimurti Yudhoyono dan Sylviana Murni. Kita mungkin berpikir, dari keempat partai tersebut, tak adakah calon lain, yang merupakan kader partai, misalnya?

Keduanya, sebelum diputuskan secara resmi untuk diajukan, kita mungkin tak cukup mengenalnya. Siapa Agus? Siapa Sylviana?

Satu-satunya yang kita tahu tentang Agus hanyalah, bahwa ia adalah anak dari Susilo Bambang Yudhoyono, mantan Presiden ke-6 Indonesia. Selebihnya, biasa-biasa saja. Ada banyak yang bilang, karirnya di militer sangat menjanjikan. Tapi bukankah itu terjadi ketika SBY masih memimpin? Apa yang tidak bisa dilakukan SBY untuk mencemerlangkan karir anaknya ketika itu? Presiden! Mantan Jenderal dan panglima tertinggi. Setelah itu, tak ada lagi beritanya, karena memang tak banyak berita tentang Agus dan segenap kegemilangannya itu. Banyak orang yang justru lebih mengenal Ibas, putra mahkota yang lebih dulu terjun ke dunia politik, dan namanya terkenal justru bukan karena prestasi melainkan sering disebut dalam lingkaran kasus korupsi besar di bangsa ini, dan selalu selamat. Setidaknya hingga saat ini.

Apa yang bisa dijual dari Agus? Pengalamannya di militer yang katanya cemerlang itu? Kalau hanya itu, tentu tak cukup untuk Jakarta yang complicated. Memimpin dalam konteks kemiliteran tidak serumit menjadi pemimpin dalam konteks jabatan politik. Di militer, hirarkinya sudah jelas; atasan harus dipatuhi, sepenuhnya. Tapi memimpin rakyat sipil, tidak sesederhana itu. Ia membutuhkan modal, lebih dari sekedar “label” membanggakan. Memimpin sebuah kota itu perlu usaha lebih untuk mencairkan kebuntuan dari proses dinamis-dialektis yang saling dibenturkan untuk menemukan ramuan yang paling tepat. Belum lagi ada DPRD, yang sesekali tak segan menjegal langkahnya.

Agus katanya ingin meningkatkan kualitas dan keandalan birokrasi yang bersih dan bertanggung jawab? Lalu apa pengalamannya dalam hal birokrasi? Agus meski besar dalam lingkaran militer-politik, ia masih cupu soal perpolitikan. Dan jangan lupa, ia berangkat dari Partai Demokrat, partai yang mempunyai track record buruk berkaitan dengan korupsi, terutama SBY dengan Gurita Cikeasnya yang saat ini semakin santer mencuat ke permukaan. Bukan apa-apa. Politik itu kejam. Agus yang pengalaman berpolitiknya masih seumur jagung, tidak menutup kemungkinan akan dimanfaatkan segelintir pihak yang ingin meraup keuntungan. Punya kekuatan apa dia untuk menolak keinginan partai yang mendukungnya?

Lalu mari kita lihat bagaimana cara-cara Agus berkampanye; pasangan tersebut secara nyata terbukti melakukan paling banyak pelanggaran dalam kampanye. Ada bagi-bagi bingkisan. Ada seruan untuk tidak menayangkan iklan keberhasilan Jakarta. Ada provokasi yang dilakukan oleh timses, terutama yang tidak resmi. Ketika berkampanye pun, ia hanya blusukan saja, jalan-jalan. Komentarnya bukan sebuah solusi concrete tapi tak ubahnya kalimat-kalimat keprihatinan dan kesedihan, persis bapaknya. Like father, like son.

Apa yang bisa dijual Agus? Banyak orang mengatakan, bahwa pendidikannya mentereng dengan Ijazah luar negeri yang lebih “menjual”? tiga calon pun, kalau berbicara pendidikan tak jauh berbeda. Sama saja. Justru dibandingkan dengan background calon lain, ia jauh kalah cemerlang. Lalu apakah ia menguasai lapangan? Silahkan dilihat dari bagaimana caranya menanggapi pertanyaan dan berkomentar. Datar. Normatif. Seperti tak ada ide dan gagasan besar yang diusung. Dalam banyak kesempatan, ia terlihat tidak siap ketika ditanyakan langkah konkrit yang akan dilakukan kecuali keinginan untuk memberikan BLT lagi, sebagaimana kebijakan bapaknya. Like father, like son.

Tidak hanya Agus, tapi juga tim suksenya juga demikian. Ketika diberikan panggung yang megah untuk menyampaikan dan mengenalkan seperti apa sebenarnya pasangan nomor 1 itu, mereka malah tidak datang dengan alasan sibuk, seperti kealpaan pada acara Mata Najwa. Apakah ini berkaitan dengan sentimen pribadi terhadap Metro dan Mata Najwa yang sebelumnya berhasil membuat “planga-plongo” ketika didebat tentang banyak hal? Sah-sah saja berpikir begitu, tapi publik bisa melihat adanya kegetiran dan ketidak-siapan. Apalagi ketika berkampanye, pernah ada pembatasan pertanyaan. Jadi wartawan hanya dibatasi dengan tiga pertanyaan. Hmmm...

Coba bandingkan visi-misi para calon yang bisa didownload di situs resmi KPUD DKI Jakarta. Dari ke-3 pasangan calon, visi-misi yang paling panjang adalah visi-misi pasangan nomor 1. Panjang sekali, tapi lebih pada permainan kata dan penjelasan yang “mengular”. Pembaca bingung untuk menemukan substansi dan gerakan nyatanya, atau mungkin butuh waktu lama. Anehnya, file pdf itu berukuran kecil, yaitu 289 KB saja. Artinya, mungkin itu isyarat cosmos, bahwa memang substansinya tak terlalu banyak. Hanya penjelasan dan keterangan tak terlalu penting, lebih serupa makalah ketimbang visi-misi yang harusnya bisa disimplifikasi.

Agus mengatakan dengan bahasanya yang diplomatis-normatif, ia ingin mengabdi melalui jalur yang berbeda. Padahal berbicara pengabdian pada negara, menjadi bagian dari militer adalah jalur yang paling tepat dan paling bersih. Mungkin terlalu berlebihan kalau dikatakan ia ambisi jabatan. Tapi adakah bahasa yang pantas untuk menjelasknannya? Dan ketika ia tidak mempunyai ambisi, maka dengan mudah dibaca, ia hanya kuda yang dipersiapkan untuk sebuah pencapaian. Dulu, bapaknya pernah melarang bagi para taruna untuk bercita-cita menjadi Gubernur, Bupati, Walikota, dll., tapi sekarang anaknya malah “dipaksa” untuk jadi Gubernur. Aneh.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline