Hakim Memvonis Bebas, Terdakwa Penganiaya Wartawan Itu...
Pukul 08.35 WIB, kulihat seorang pegawai pengadilan mendekati jaksa, terdakwa penganiaya bapakku, dan lelaki yang menyandang kamera besar di bahu kirinya. Mereka berempat kemudian berjalan bersama menuju belakang gedung pengadilan.
Aku mengajak ibu mengikuti arah mereka berjalan. Ternyata sebuah ruangan sidang.
Jantungku sebenarnya berdegup kencang memasuki ruangan sidang itu. Ini pertama kalinya aku dan ibu datang ke pengadilan. Pertama kali juga mengikuti jalannya sidang kasus bapak. Pertama kali bertemu wajah langsung dengan terdakwa penganiaya bapak. Ada rasa takut, ada sedih, bercampur jadi satu. Tapi aku harus kuat. Kalau aku tak kuat, ibu pasti lebih tak kuat lagi.
Kedatangan aku dan ibu memasuki ruangan sidang mengejutkan terdakwa dan jaksa. Sepertinya, mereka tidak menduga kalau aku dan ibu sebagai keluarga korban, bisa hadir di sidang hari itu.
Aku dan ibu duduk di bangku pengunjung. Cukup banyak juga bangku untuk pengunjung sidang yang tersedia di ruangan itu. Tapi yang duduk di bangku itu hanya aku dan ibu.
Tetiba aku ingat pada lelaki yang menyandang kamera besar itu. Di mana dia? Mataku mencarinya, dan melihatnya ternyata ada berdiri di jendela ruangan sidang yang terbuka lebar. Ada beberapa jendela terbuka di ruang sidang itu untuk orang yang ingin melihat jalannya sidang. Sepertinya lelaki yang menyandang kamera besar itu juga terkejut melihat kedatanganku bersama ibu. Ia menatap ke arah aku dan ibu. Saat itu aku bisa melihat jelas wajahnya. Itu sebabnya, aku masih mengingatnya saat kami berjumpa lima belas tahun kemudian.
Selain dia, ada beberapa orang lagi yang melihat ke arah aku dan ibu, dari jendela ruangan sidang. Ada lelaki dan ada perempuan. Sekitar delapan orang. Kalau melihat gaya mereka, mereka juga para wartawan yang akan meliput berita sidang vonis hakim hari itu. Tapi, tak ada kulihat Bang Syahrul di antara mereka.
Tidak berapa lama tiga orang memakai jubah hakim memasuki ruangan. Hakim yang duduk di tengah adalah ketua majelis hakim yang menangani sidang pagi itu. Dia juga seperti terkejut melihat kehadiran aku dan ibu. Matanya langsung menghujam tajam ke arah aku dan ibu. Ada tatapan tak suka dengan kehadiran aku bersama ibu.
Sebelum memulai sidang, ketua majelis hakim itu menyampaikan dengan suara keras tentang tata tertib persidangan. Katanya, semua orang yang hadir di ruang sidang harus selalu menunjukkan rasa hormat kepada institusi pengadilan. Jika ada yang tidak menunjukkan rasa hormat kepada institusi pengadilan, maka Ketua Pengadilan dapat memerintahkan individu tersebut untuk dikeluarkan dari ruang sidang dan bahkan dituntut secara pidana. Tatapannya mengarah tajam ke arah-ku, bahkan terkesan dengan sorot mata mengintimidasi.
Aku sempat merasa takut dengan sorot matanya itu, tapi juga merasa heran. Apakah ketua majelis hakim itu merasa aku tidak akan menghormatinya di sidang itu? Memangnya aku akan melakukan apa, dengan hanya berdua bersama ibu?