Lihat ke Halaman Asli

Anita Godjali

Seorang guru dan ibu rumah tangga

Cheerleader Effect DPRD DKI Jakarta

Diperbarui: 17 Juni 2015   09:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Cheerleader Effect, apa itu? Mungkin sebagian pembaca ada yang belum pernah mendengar istilah ini. Istilah cheerleader itu sendiri juga sering kita sebut pemandu sorak. Bagi para penggemar basket pasti cukup akrab dengan istilah ini. Memang cheerleader sering kita jumpai dalam pertandingan basket. Biasanya mereka ini terdiri dari beberapa gadis belia yang akan menari secara atraktif serta memandu yel-yel menjelang pertandingan.

Cheerleader itu konon sudah berkembang sejak1898. Johnny Campbell lah konon cheerleader pertama di dunia. Namun, mereka tidak memandu yel-yel dalam pertandingan basket tetapi justru pada pertandingan bola tepatnya American football. Selanjutnya bisa dibaca di sini http://www.gadis.co.id. Namun dalam perkembangannya pemain cheerleader atau pemandu sorak ini lebih sering bermain pada pertandingan basket. Pemainnya pun seperti yang kita kenal sekarang dilakukan oleh para perempuan. Walaupun demikian masih ada juga kelompok pria yang memerankan atraksi ini. Para pemain pria inilebih terkenal dengan istilah pom-pom boy.

Ada sebagian orang yang mengungkapkan keberadaan para gadis Cheerleader ini. Dalam komposisinya sebagai kelompok pemandu sorak mereka ini terlihat sangat menarik dan terlihat cantik-cantik. Namun, menurut sebagian orang yang memberikan testimony, ternyata kecantikanpara cheerleader itu biasa saja saat tidak bersama team. Hingga orang mengatakan para gadis cheerleader ini sangat cantik hanya saat berada dalam kelompok. Ketika mereka sendiri-sendiri tidak berada dalam kelompok, penampilan mereka biasa-biasa saja. Fenomena ini yang akhirnya disebut dengan Cheerleader Effect. Nah, istilah iniyang rupanyaakhir-akhir ini juga mulai marak digunakan.

Apa hubungannya dengan DPRD DKI? Aura semacam itu sepertinya juga menjangkiti para anggota dewan yang terhormat. Kehebohan pembahasan masalah anggaran pemda DKI yang tidak beres-beres menjadi pemicunya. Perbedaan pendapat antara Gubernur DKI dan anggota dewan telah menimbulkan kekisruhan. Ahok gubernur DKI yang tetap pada pendiriannya menggunakan e-budgeting menjadi akar permasalahan. Sebaliknya anggota dewan terhormat yang tetap bersikeras dengan pendiriannya menjadi pemicunya.

Perbedaan pendapat ini tak kunjung menemukan solusi atau jalan keluar. Saling lempar masalah antar anggota yang satu dengan yang lain sudah biasa. Secara sepintas anggota dewan lah yang merasa paling benar. Alhasil anggota dewan lupa bahwa tugasnya adalah melakukan pengawasan. Semua ini tentu kalau kita merujuk pada tugas dan wewenang DPRD. Ketika mereka bersatu dalam kelompok DPRD semua terlihat baik dan mulia. Kini, DPRD DKI terlihat begitu baik dan taat dengan semua aturan dan perundangan. Oleh karena itu terjadinya penolakan e-budgeting tak lain adanya proses dan prosedur yang diabaikan Ahok. Seharusnya rencana anggaran pendapatan dan belanja negara harus melalui persetujuan dewan. Ahok tidak boleh secara sepihak membuat keputusan sebelum ada persetujuan DPRD. Akan tetapi Ahok merasa ada penipuan terhadap rakyat maka ia menolak anggaran yang telah disiapkan dewan,

Akhirnya, tindakan Ahok dianggap telah melanggar perundangan yang selama bertahun-tahun menjadi alat mereka. Semua anggota masyarakat bisa menyaksikan betapa kompaknya anggota DPRD DKI mengkritisi masalah ini. Mereka mampu menunjukkan permainan atau performa yang begitu hebat. Alasan keberatan lainnya dipakaipara anggota dewan untuk meligitimasi kekuasaan dan kekuatan anggota dewan dalam rangka melengserkan Sang Gubernur. Bak kelompok cheerleader memandu sorak dalam pertandingan basket. Semua anggota dewan terlihat cukup antusias menggunakan hak angket untuk menyelidiki tindakan Ahok. Anggota dewan begitu kompak luar biasa menyususn strategi dan permainan.

Namun, rupanya sindrum cheerleader effect ini mulai terlihat di mata masyarakat. Rakyat Jakarta mulai kritis melihat dan menilai wakil-wakilnya yang duduk sebagai anggota dewan. Memang seperti halnya cheerleader yang sedang tampil dalampertandingan. Penampilan anggota dewan ini juga prima, memesona dan mengagumkan ketika mereka kompak dalam kelompok yang bernama DPRD.

Akan tetapi, kini masyarakat bisa menyaksikan dan menilai anggota dewan satu-persatu. Mereka hadir di hadapan masyarakat secara kasat mata melalui komentar-komentarnya yang terekam oleh media masa. Bahkan tak tanggung-tanggung mereka juga dengan sengaja memublikasikan pandangannya melalui media social. Semua yang mereka lakukan itu dapat membawa masyarakat pada pengenalan pribadi tokoh yang bersangkutan.

Rakyat Jakarta begitu akrab dengan nama-nama anggota dewan , H. Lulung, M. Taufik, Prasetio Edi Marsudi, Ferrial Sofyan, Tubagus Arif, Prabowo Soenirman dll. Nah, seperti apakah para anggota dewan yang terhormat ini? Sepertinya kehebatan mereka tak seindah performa dalam kelompok.

Begitu pula penampilan Sang Gubernur, ia begitu terlihat buruk melalui kata-kata sarkastisnya. Mengapa tindakan dan kata-katanya begitu terekam oleh masyarakat? Jawabannya, tentu karena Ahok tidak berada dalam sebuah kelompok. Ahok tampil sebagai pribadi maka keburukannya yang terlihat. Ahok tidak memiliki kelompok yang bernama partai yang bisa menyamarkan penampilannya.

Kita juga bisa menyaksikan dalam sebuah siaran bahwa anggota dewan juga mengeluarkan kata-kata yang tak kalah sarkastisnya. Namun, ia selamat dari hujatan masa dan justru mendapat pembelaan dari berbagai pihak. Bahkan dipandang sebagai suatu bentuk kewajaran. Mengapa bisa terjadi demikian? Jawabannya, karena ketika mengeluarkan sumpah serapah, anggota dewan itu berada dalam kelompok. Jadi, seburuk dan sekasar apa pun kata yang terucap tetap baik karena dalam kelompok.

Berdasarkan fakta di di atas, rupanya mulai terlihat dan mudah untuk memahami persoalan. Gejala baru mulai mewabahpara anggota dewan. Mereka kini memiliki pamor yang sama seperti kelompok cheerleader. Para anggota dewan terlihat karakter aslinya, seperti seorang cheerleader yang tanpa polesan. Dalam kondisi terancam mereka pun tidak bisa santun. Namun, demi performa kelompok kadang mereka menjadi pengecut tak mau mengakui kesalahan. Tentu agar mereka tidak terekamkepribadiannya. Mereka ingin selalu menampilkan kekompakan kelompoknya yang seolah santun dan penuh pesona demi melindungi kepentingan pribadi. Dengan kata lain sebenarnya Cheerleader Effect rupanya saat ini sedang menjadi sindrum dan menggejala pada para anggotaDPRD DKI. Salam-AST

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline