Saya tak habis pikir, mengapa korupsi di Indonesia semakin merajalela dimana-mana. Bukannya habis malahan semakin tumbuh subur bagaikan rumput ilalang.
Seperti yang terjadi saat ini, publik dibuat tercengang dengan tertangkapnya beberapa pejabat yang melakukan korupsi. Bahkan ada yang sudah dua kali terlibat korupsi sehingga menjadi topik perbincangan.
Korupsi telah berakar ketika kekuasaan bertumpu pada birokrasi patrimonial yang berkembang dalam kerangka kekuasaan feodal. Dan bukanlah suatu bentuk kejahatan yang baru.
Saat bergulirnya reformasi, bangsa Indonesia memiliki suatu harapan adanya perubahan. Khususnya dalam penyelesaian kasus-kasus korupsi yang terus berlangsung.
Namun kenyataannya, hingga detik ini wujud tindakan pemberantasan korupsi belum terlihat hasilnya. Tindakan korupsi semakin menyebar mulai dari pusat sampai ke tingkat daerah.
Oleh karena itu, tidaklah berlebihan, jika saya katakan korupsi di Indonesia bukan lagi kejahatan biasa (ordinary crimes) melainkan kejahatan yang luar biasa (extra-ordinary crimes).
Maka dari itu, upaya pemberantasannya tidak lagi dapat dilakukan secara biasa. Tetapi harus dilakukan dengan cara-cara yang luar biasa pula. Pelaku korupsi harus mendapat ganjaran hukuman yang setimpal.
Setidaknya dikenai pidana maksimal berupa potong tangan atau hukuman mati dan penjara seumur hidup. Sebab tindakan korupsi sama dengan tindakan kriminal pencurian dan perampokan.
Ganjaran itu merupakan ganjaran yang pas untuk memberikan shock therapy (efek kejut) supaya dapat menimbulkan efek jera (deterrent effect) bagi pelaku maupun calon-calon pelaku korupsi.
Pelaksanaan hukuman secara maksimal diharapkan dapat memotong jalur-jalur korupsi yang telah terbangun bersama tokoh-tokoh yang dikenai pidana.