Tahun 2045 Indonesia bercita-cita menjadi negara kesatuan Republik Indonesa yang Bersatu, Berdaulat, Maju dan Berkelanjutan. Lima sasaran utama Visi Indonesia Emas pada tahun 2045 adalah sebagai berikut (sumber : UU Nomor 59 Tahun 2024 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2025-2045) :
- pendapatan per kapita Indonesia diperkirakan setara dengan negara maju (sekitar USD 23.000 -- 30.300 dari baseline 5.500 -- 5.520 USD pada 2025) dengan Laju pertumbuhan Ekonomi (LPE) 8%
- kemiskinan menurun menjadi 0,5 -- 0,8 % (dengan baseline 7,0 - 8,0% pada tahun 2025) dan Indeks Gini menjadi 0,290 -- 0,320 (dari baseline 0,379 -- 0,382 pada 2025)
- kepemimpinan dan pengaruh di Dunia internasional meningkat ditandai dengan indikator Global Power Index peringkat 15 besar di dunia (dari posisi 34 pada tahun 2023)
- Daya saing sumber daya manusia meningkat ditandai dengan Indeks Modal Manusia 0,73 (dengan baseline 0,56 pada tahun 2025)
- Intensitas emisi Gas Rumah Kaca (GRK) : penurunan menjadi 93,5% pada tahun 2045 (dari baseline 38,6% pada 2025) dan Indeks Kualitas Lingkungan Hidup menjadi 83 (dari baseline 76,49 pada 2025)
Seperi halnya nasional, maka di level Provinsi/Kabupaten /Kota pun akan menyusun rencana jangka panjangnya dengan visi dan 5 sasaran yang selaras dan sinergi dengan visi nasional. Dengan kondisi permasalahan di daerah yang sudah dirasakan semakin kompleks, kondisi global yang semakin tidak menentu dan sasaran visi yang dirasakan berat, maka timbul pertanyaan "Bisakah daerah mendukung capaian sasaran visi Indonesia Emas 2045 tersebut dengan cara yang biasa-biasa saja?".
Jika dikaitkan dengan tuntutan bahwa penyusunan kebijakan harus didasarkan pada bukti (evidence based policy) maka semakin diperlukan penguatan riset dan inovasi untuk menggantikan "cara yang biasa-biasa saja". Analog dengan kondisi penyakit yang sudah parah, obatnya tidak bisa menggunakan obat generik tapi harus obat yang paten.
Bagaimana kondisi riset dan inovasi di Indonesia? Sangat menarik memelototi data-data yang terdapat di dokumen RPJPN dimana disebutkan bahwa kapasitas ilmu pengetahuan, teknologi dan inovasi (IPTEKIN) yang masih lemah. Hal ini terkait dengan masih lemahnya komitmen pemerintah dari sisi anggaran yang hanya mencapai 0,28% dari PDB, kalah jauh dibandingkan dengan Korea Selatan (4,81%), Thailand (1,31%) dan Malaysia (1,04%) pada tahun 2020.
Selain itu, tantangan juga datang dari kuantitas dan kualitas SDM peneliti yang belum memadai. Pada tahun 2019, jumlah peneliti riset dan inovasi di Indonesia per satu juta penduduk hanya 388, jauh lebih rendah dibandingkan Thailand (1.790), Singapura (7.287) dan Korea Selatan (8.408).
Masalah lain yang dijumpai antara lain :
- masih banyak peneliti memilih untuk menjadi peneliti di negara lain karena tidak mendapat dukungan yang cukup dari pemerintah
- ekosistem riset dan inovasi masih lemah
- hasil riset tidak aplikatif karena masih lemahnya kerja sama lembaga riset dan industri
- masih terbatasnya kerja sama lembaga riset domestik dan internasional.
Lantas dengan kondisi yang demikian, apa yang bisa diperbuat oleh pemerintah di daerah ? Apakah harus menunggu jumlah peneliti bertambah? Mungkin tidak masalah dengan kondisi di Pusat karena terdapat banyak peneliti yang tergabung dalam Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).
Di level Pemerintah Provinsi/Kabupaten/Kota sebenarnya sudah lama memiliki kelembagaan "Litbang" yang sering disalah artikan menjadi "sulit berkembang". Belakangan menguat keinginan membentuk Badan Riset dan Inovasi Daerah (BRIDA).
Simultan dengan langkah pemerintah pusat, sambil menunggu kesiapan lembaga dan ketersediaan Sumber Daya Manusianya, berikut beberapa hal sederhana yang dapat dilakukan di daerah :
- Membuat Sistem Informasi Riset dan Inovasi yang berisikan hasil riset dan inovasi dari berbagai lembaga penelitian/kampus dan Pemerintah Daerah lainnya. Sistem Informasi ini menjadi semacam kamus atau Bank data berisi hasil riset dan inovasi serta model praktik baik yang dapat digunakan manakala Pemerintah daerah akan menyusun kebijakan baru yang bukan "biasa-biasa saja"
- Melaksanakan Musyawarah Riset dan Inovasi (seperti halnya Musyawarah Perencanaan Pembangunan/Musrenbang) yang menghasilkan usulan-usulan riset dan inovasi yang tepat sesuai permasalahan yang dihadapi. Pembahasannya bisa dilakukan per tema (contoh Stunting, Kemiskinan, Pengembangan Pedesaan, Persampahan dan lainnya)
- Melakukan ATM (Amati, Tiru dan Modifikasi) terhadap inovasi-inovasi yang sudah ada dan menerapkannya.
- berkolaborasi dengan BRIN/PT/pihak lainnya untuk melakukan riset yang dibutuhkan pemerintah daerah dan menyediakan Klinik konsultasi inovasi
- Menindaklanjuti inovasi yang dihasilkan dari Kompetisi Inovasi dengan cara penerapan berupa"piloting" yang dipantau perkembangannya.
Langkah-langkah sederhana seperti tersebut di atas, semoga bisa menjadi dukungan daerah dalam mendukung visi Indonesia Emas 2045.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H