Lihat ke Halaman Asli

Kita dan Pilihan Panutan

Diperbarui: 6 Maret 2022   20:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

medanheadlines

Sekitar empat tahun lalu, kita dikejutkan oleh tindakan Kepala staf Angkatan Darat (KSAD) waktu itu Jenderal Andika Perkasa terhadap tiga anggota TNI yaitu satu kolonel yang menjabat Dandim Kendari, satu orang berpangkat Sersan dan satu orang berpangkat prajurit anggota POMAU Surabaya.

Pencopotan dari jabatan disertai penahanan selama 14 hari itu sesuai dengan UU no 25 tahun 2014 tentang disiplin militer. Tindakn KSAD itu karena ujaran kebencian yang dilakukan para istri mereka soal penusukan Menkopolkam (waktu itu) yaitu Wiranto. Ketiga istri mereka itu juga dilaporkan kesatuan kepada yang berwajib sesuai dengan UU no 19 tahun 20016 tentang ITE. 

Ini bagaikan tamparan keras kepada para prajurit karena dalam militer ada kewajiban para anggota untuk mendidik keluarganya sesuai dengan norma-norma dan aturan kebangsaan terlebih mereka adalah keluarga atau bagian dari penyelenggara negara itu sendiri.

Kejadian ini memang harus menjadi peringatan bagi kita semua soal ujaran kebencian, intoleransi dan radikalisme yang terkesan semakin tidak punya batas tak terkecuali dilakukan oleh para istri birokrat, istri TNI /Polri dan beberapa komponen masyarakat. Ujaran kebencian, intoleransi dan radikalisme yang saya maksud ini adalah narasi-narasi yang berkembang di media sosial.

Terlebih ibu-ibu (baca : keluarga) relatif kurang bersinggungan dengan politik dan dinamika agama secara umum. Mereka seringkali terjebak pada lingkup internal mereka yang relatif sepaham. 

Semisal, orang-orang yang punya faham intoleran akan berkumpul dengan yang seide. Juga orang-orang yang punya kecenderungan gemar melakukan ujaran kebencian akan berkumpul dengan mereka yang punya kegemaran sama.

Ini kemudian membentuk bubble (gelembung) yang kuat karena narasi-narasi mereka teramplifikasi oleh mereka sendiri. Saking kuatnya bubble ini kemudian mereka akan lebih mempercayai apa yang dikatakan oleh para anggota bubble itu. 

Sehingga tak heran jika ujaran kebencian atau kecenderungan intoleransi atau radikalisme terlontar para narasi-narasi mereka di media sosial. 

Seringkali bubble ini punya tokoh atau penceramah (biasanya agama) yang mereka anggap panutan, meski apa yang mereka ajarkan melenceng dari seharusnya.

Karena itu kejadian ini memang harus menjadi peringatan bagi kita semua soal pemilihan panutan termasuk panutan sosial maupun agama. Juga bagaimana kita mengkritisi bubble yang melingkupi keluarga, jangan sampai terjebak pada buble radikal, intoleran maupun gemar melakukan ujaran kebencian.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline