Lihat ke Halaman Asli

Media Sosial Bukan untuk Provokasi

Diperbarui: 24 Desember 2020   22:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

republika

Selama sepuluh tahun ini mungkin kita harus menerima aura dan lingkungan informasi yang tidak sehat. Ketidaksehatan lingkungan informasi itu berasal dari media sosial yang memang mulai disukai pada awal tahun-tahun 2010 dimana pengguna facebook meningkat pada tahun-tahun itu.

Penyebabnya adalah politik. Sejak pilpres 2014 dan beberapa pilkada setelahnya media sosial memang dimanfaatkan sebagai alat untuk berpolitik. Bukan saja efektif untuk menggaet massa  tetapi juga untuk mempengaruhi orang yang tidak tertarik pada politik untuk masuk dalam narasi-narasi yang menyeretnya untuk berseberangan dengan pihak lain.

Alat untuk berseberangan dengan pihak lain itu adalah media sosial dan peluru yang dipakai adalah narasi kebencian dengan menggunakan agama dan politik. Kita bisa melihat hal ini saat pilpres 2014 dimana keterbelahan masyarakat sudah nampak dan rupanya hal itu berlanjut pada pIlkada Jakarta yang berlangsung sangat keras karena mempengaruhi banyak hal dalam masyakarakat. Dari bocah sampai orang tua harus menelan keterbelahan itu.

Hal itu berlanjut ketika aparat menemukan perusahaan bernama Saracen yang berkecimpung dalam memproduksi narasi kebencian yang ada di masyakat. Ratusan bahkan ribuan akun yang terkelola dengan narasi-narasi tertentu tidaklah mudah dikelola oleh pihak yang amatir, numun dikelola oleh pihak yang professional dan pihak itu adalah Saracen.

Setelah beberapa tahun berlalu dan Pilpres serta Pilkada berlalu, kita dihadapkan lagi dengan fenomen polarisasi antara aparat emerintah dengan salah satu tokoh agama yang kini tengah jadi pembicaraan yaitu Habib Rizieq Shihab yang controversial itu. Tokoh FPI yang dulu terkenal dengan aksi kerasnya itu memang punya pengikut yang cukup banyak, dan masalah dengan aparat yang berseberangan dengan dia menyeret pengikutnya juga. Mereka menyalurkan kekesalan pada aparat soal penahanan HRS dengan berbagai cara, baik dengan kekerasan maupun narasi provokasi di media sosial.

Tak hanya provokatif tetapi arasi-narasi yang kita temukan di media sosial soal HRS bersifat negative destruktif dimana dua pihak berseberangan makin hari makin panas karena perbedaan prespektif itu. Kelompok yang pro HRS dan sebaliknya saling menyerang dengan berbagai narasi di media sosial. Fenomen cebong kampret yang ada saat Pilkada dan Pilpres ternyata berlanjut dengan kemasan lain.

Padahal penemu media sosial (apapun itu ) termasuk facebook, twitter, WA, Youtube dan sebagainya tidak pernah membayangkan perkembangan media sosial akan seperti ini. Media tidak pernah diciptakan untuk menyebarkan ujaran-ujaran kebencian dan berbagai hal lain yang bersifat provokatif.

Media sosial seharusnya penuh dengan kedamaian dan keteduhan dan bukan kegaduhan. Media sosial seharusnya bisa mempererat satu pihak atau orang dengan orang lainnya. Dengan begitu kita bisa berjalan maju bersama dan tidak kehilangan energy untuk saling bertentangan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline