Lihat ke Halaman Asli

Idul Adha, Momentum Pengendalian Ego

Diperbarui: 9 Agustus 2019   15:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber gambar: NUonline.or.id

Pada awal era tahun 2000 an, mungkin sebagian dari kita ingat saat sekelompok organisasi masyarakat (ormas) yang berbasis agama selalu melakukan sweeping pada bulan Ramadan. Sweeping itu menyasar tempat hiburan semisal caf, bar dan beberapa club malam lainnya.

Caf , bar dan club dianggap identik dengan tempat maksiat karena selalu meyodorkan minuman keras yang dianggap beberapa orang sebagai minuman haram. Mereka juga dianggap menyediakan tontonan tak layak (pornografi) pada setiap tampilannya.

Sweeping itu berlangsung sangat keras, yaitu merusak peralatan caf dan bar sampai property (bangunan) caf tersebut. Pada setiap sweeping tak jarang pengusaha tempat hiburan menderita kerugian sampai ratusan juta karena peralatan yang dirusak itu pecah, rusak dan tak bisa dipergunakan lagi. Bangunan caf juga begitu; papan nama dan beberapa bagian rusak karena aksi sweeping itu.

Sweeping itu tidak melibatkan aparat keamanan sebagai pelaksana. Aksi itu juga tidak perpanjangan tangan dari aparat sebagai upaya menertibkan keamanan. Aksi sweeping tempat hiburan kala itu tak lebih dari aksi liar alias barbar yang hanya menuruti hati mereka sendiri dan tidak mengindahkan aturan ketertiban umum yang ada di mana penertiban hanya boleh dilakukan oleh aparat keamanan, resmi dari negara. Dalam hal ini adalah tugas polisi.

Aksi-aksi tersebut padakini sudah tak ada lagi karena banyak diantara penertiban kembali pada tugas kepolisian. Tapi yang menarik adalah, akhir-akhir ini marak sweeping buku berhaluan kiri yang dilakukan oleh sekelompok orang ditoko-toko buku resmi. Mereka berkilah bahwa buku-buku itu terkait dengan atheisme yang bertentangan dengan ideology bangsa.

Jika kita telaah lebih lanjut, aksi sweeping pada awal era 2000 nyaris sama dengan sweeping yang dilakukan baru-baru ini di toko buku ternama di Makassar. Kesamaan dua aksi ini adalah mereka sama-sama egois dengan melakukan penghakiman terhadap karya orang, tanpa melalui prosedur yang seharusnya.

Aksi yang mereka lakukan tak lebih dari ungkapan kemarahan tanpa peduli situasi dan kondisi sekitar. Hal itu tak lebih dari ungkapan ego yang tak pada tempatnya dan mencoreng agama tertentu yang dijadikan mereka alasan sweeping. Kita harus sadar bahwa dasar negara kita adalah Pancasila dimana seharusnya paham bahwa banyak sekali keragaman diantara masyarakat Indonesia. Bila kita telisik lagi keragaman itu juga yang memperkaya dan modal kita mendirikan negara ini.

Ego adalah sesuatu yang harus kita punya, tapi kita harus tahu kapan harus mengandalkan egoism kita dan kapan harus menekannya untuk sesuatu yang jauh lebih luhur dan agung. Tentu kita ingat bagaimana pengorbanan yang dilakukan oleh nabi Ibrahim dan Ismail. Nabi Ibrahim melepaskan egonya demi perintah Allah yang kurang dia pahami. Tapi dia tidak bertindak sendiri karena Allah yang menyertai dia.

Analogi aksi sweeping dan pengorbanan Ibrahim dan Ismail mungkin dianggap tidak relevan, tapi ingat Allah memberikan domba sebagai sesuatu yang disembelih dan bukan lagi Ismail. Artinya domba adalah perlambang egoism kita yang harus kita kendalikan bahkan dalam hal-hal tertentu kita luruhkan. Dengan demikian kita bisa memandang itu sebagai acuan untuk mengendalikan ego dalam diri kita agar tidak sampai merusak tatanan yang sudah ada. Idul Adha yang akan kita rayakan ini juga merupakan momentum bagi pengendalian dari ego kita.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline