Kita sudah melampaui masa kampanye. Kampanye terpanjang untuk Pilpres sepanjang sejarah. Jika Pemilu-pemilu lalu, kampanye untuk Pilpres hanya berlangsung 1,5 -- 2 bulan , kini lebih dari enam bulan, seiring dengan kampanye Pileg (Pemilu Legislatif) yang memang panjang.
Pada masa kampanye itu masing- masing Pasangan Calon (Paslon) Presiden dan tim suksesnya memberikan program-program unggulan yang ditawarkan untuk masa pemerintahan lima tahun ke depan. Idealnya jika focus pada program-program unggulan, kemungkinan besar maka masyakarat akan lebih paham pasangan mana yang akan dipiih.
Tapi yang terjadi sekarang adalah selain program-progam unggulan dari tim sukses, kita disodorkan dengan narasi-narasi yang isinya jauh dari fakta, cenderung menyesatkan dan kurang santun. Mereka menyodorkan narasi-narasi itu sepanjang hari. Sejak pagi hingga pagi lagi, sehingga membuat banyak orang mau tak mau mengkonsumsi 'sampah ' narasi yang memuakkan itu.
Yang lebih menyedihkan adalah seringkali sampah narasi itu diproduksi oleh kaum intelektual yang mengenyam pendidikan tinggi. Mereka berkembang dengan lingkungan yang baik dan cenderung bisa mengedukasi orang lain melalui karya-karyanya. Karena lingkungan sekitar cenderung akan memperhatikan kaum intelektual ini karena dianggap terdepan dalam hal ilmu.
Inilah yang terjadi : bahwa para intelektual ini ternyata banyak mengkonsumsi narasi sampah (penuh hoax dan ujaran kebencian) lalu dia mengamplifikasikannya (menyebarkannya) ke pihak lain. Konyolnya banyak orang percaya pada narasi itu meski berkatagori sampah, dan menyebarkannya kembali ke masyarakat lainnya.
Mereka lakukan itu karena mereka percaya pada para intelektual itu. Para intelektual terlihat berpengetahuan, berwawasan luas dan bersikap baik kepada masyarakat selama ini, sehingga mereka menerima apa yang disodorkan oleh para tokoh intelektual itu.
Masyarakat percaya, termasuk para tokoh itu. Ini yang kemudian orang menyebutnya dengan melampaui kebenaran (post truth) . Post Truth dipahami sebagai kebenaran bukan sebagai tolak ukur bagi masyarakat untuk percaya pada sesuatu. Meski tidak benar atau palsu atau bohong jika dia percaya, maka kebohongan itu dianggapnya sebagai sebuah kebenaran.
Fenomena ini yang melanda di banyak masyarakat dan mengancam persatuan kita sebagai bangsa. Ini menyulitkan banyak pihak untuk mendudukkan persoalan bahwa yang terjadi tidak seperti yang ada di media sosial. Karena fenomena post truth banyak tersebar di media sosial termasuk FB, twitter, Instagram dan grup-grup wa. Mereka menyebarkan narasi-narasi yang tidak bisa teruji kebenarannya , antara lain juga dilakukan oleh para tokoh intelektual itu.
Ini menjadi tantangan kita semua karena persatuan bangsa menjadi taruhannya. Mungkin mulai saat ini kita bisa kembali mereview apakah narasi kita sampah dan berpotensi memecah belang kita sebagai bangsa atau tidak.
Atau pertanyaannya adalah, mungkin sebagai salah satu tokoh intelektual yang narasinya "didengar " oleh lingkungan sekitar, ada baiknya kita mengedukasi masyarakat dengan narasi yang benar dan baik. Bukan sekadar narasi 'sampah ' yang seharusnya dibuang. Yang harus disebarkan adalah narasi sehat yang memperkuat kebangsaan kita. Ke depan , insha allah kita akan lebih kuat sebagai bangsa dan rukun sebagai masyarakat.