Lihat ke Halaman Asli

A. Anindita

Karyawan Swasta

Surat untuk Anindita Sayang

Diperbarui: 17 Juni 2015   07:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Anindita sayang,
biarkan aku memanggil balik dirimu diantara seruak duri yang membuatmu nyeri.

Bahwa aku melihatmu memanggilku, kehabisan kata. Aku menangisimu sekeras kamu menangisi hidup. Aku memanggul beban yang sama beratnya. Sungguh aku selalu memelukmu dan membisikimu kalau tidak apa-apa kalau kamu merasa kenapa-napa.

Aku memutar lagu lama, lagu yang sama saat kamu patah hati lima tahun lalu. Lagu yang membuatmu tercekat untuk mengingat seseorang di dalamnya. Lagu yang hanya empat menit lamanya namun terasa menyesakkan dada tiap detiknya.

Aku tahu bagaimana kamu hanyut dalam matanya. Aku tahu kamu yang selalu berlama-lama dan rela pulang larut hanya untuk mendengarnya bicara tentang hal yang ia sukai. Dan aku tahu kamu mencintai diam-diam diantara pengakuannya yang jatuh cinta kepada laki-laki lain.

Ya Aninditaku sayang, kamu perempuan lalu jatuh cinta dengan perempuan. Lantas sengsara dalam tangis karena terpisah dengannya. Aku tahu kamu tak pernah benar-benar menginginkannya. Tak ingin menyentuh fisiknya, aku benar-benar tahu yang kamu inginkan hanya sekedar berada di sekelilingnya dan sudah, lebih dari cukup.

Lantas laki-laki datang seolah pahlawan. Ya ia memang pahlawan. Aku tahu ia benar-benar pernah mencintaimu buta. Ia tahu kamu habis patah hati dengan seorang perempuan, dan ia tak pernah masalah dengan hal itu. Aku tahu kamu banyak bicara tentang perempuan itu padanya. Ia sungguh seorang penyembuh bukan. Sebuah cinta bisa padam sayang, itu yang telah kamu pelajari.

Kamu tak pernah minta ia datang kepadamu, kamu bahkan tidak mengenalnya dengan baik sebelumnya. Takdir bicara, sedang kamu tak tahu harus bagaimana dengan laki-laki itu. Ya kamu takut karma sayang, ketakutannya membuatmu enggan meninggalkannya. Maksudku ya, ia baik dan tak ada masalah dengannya. Masalahnya, kamu tak menaruh hati padanya. Hanya pada awalnya.

Kamu tahu ia punya sejuta kesamaan dengan dirimu. Ya sejuta kesamaan dan itu tak cukup untuk tetap merekatkan. Aku tak tahu, waktu memang hal terkuat. Kamu bahkan tak ingat sejak kapan kamu menyukainya, pelan-pelan kemudian jatuh dalam. Hingga begitu takut untuk kehilangannya.

Aninditaku, akupun juga tak pernah mau hinggap dan berbagi hidup denganmu. Aku tak ingin merecoki segala apa yang ada di dalam kepalamu, bahkan hatimu. Maaf karena aku selalu sok mengatur apa yang terbaik untukmu. Aku membenci sekaligus mencintaimu. Aku lahir dari lukamu. Kamu yang menciptakan aku dari hal itu. Aku adalah kamu namun hanya sebagian. Entah seperberapa bagiannya, tapi mengapa kamu harus selalu kontradiktif denganku.

Hidupmu mau tak mau hidupku juga. Maksudku aku tak suka bagaimana laki-laki itu menyakiti kamu, kita juga. Aku selalu marah karena hal itu. Aku tahu kamu memahamiku, tapi tak ada yang lain yang bisa mengerti tentang kita.

Apakah aku laki-laki atau perempuan yang tinggal dalam dirimu, aku juga tak tahu. Mungkin juga aku bahkan tak peduli. Tapi aku selalu menyayangimu bagaimanapun juga. Kamu terlihat begitu sempurna, kita bersama bermain drama tentang siapa yang pergi memancing dan pura-pura pulang ke rumah dan saling mengobrol, kamu tahu itu masih menjadi hal yang menyenangkan. Saat laki-laki itu tak ada, karena memang jarang ada, kita selalu bersama. Aku hampir-hampir bisa meyakinkanmu bahwa kamu tak perlu siapapun untuk menemanimu. Siapa yang butuh pacar kalau ia tak pernah ada. Maksudku ayolah kamu bisa hidup dengan tenggelam pada buku, sama seperti sebelum ia pernah datang. Tentang keinginanmu membeli buku-buku mahal dan punya berbagai lemari dengan koleksi buku terbaikmu. Bukankah kita bisa melakukannya. Dibanding kamu mati-matian meyakinkan dan mengorbankan diri dengannya yang entah apakah kamu bisa hidup dengan umpatan sepanjang waktu. Sayang, ia tak pernah mengerti apa yang terjadi denganmu. Itu bukan salahmu dan bukan juga salahnya. Sungguh pemilik salah itu sudah kamu kubur hidup-hidup, lantas kenapa kamu memilih menggalinya kembali.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline