Lihat ke Halaman Asli

Anissa Luthfita

Mahasiswa Universitas Indonesia

Kelas Rawat Inap Standar, Siapkah Indionesia Menerapkan Standarnya?

Diperbarui: 16 Juni 2023   20:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Kesehatan sudah semestinya menjadi jaminan yang diberikan oleh negara kepada waganya. Dengan adanya jaminan tersebut, tentunya diharapkan terjadi produktivitas sehingga dapat memberikan dampak baik bagi pembangunan suatu negara. Sama seperti negara lain, Indonesia juga memberikan jaminan kesehatan kepada warga negaranya. Seperti yang diamanatkan pada Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 34 Ayat (3) yang berbunyi: "Negara bertangung jawab atas penyediaan fasilitas kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak." Bunyi pasal tersebut menunjukkan bahwasanya perlu ada usaha untuk memberikan hak kesehatan dan pelayanannya.


Indonesia pada akhirnya mendorong usaha jaminan kesehatan dengan harapan dapat menyongsong Universal Health Coverage (UHC) melalui Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Untuk memastkan terselenggaranya UHC dengan baik dan memberikan jaminan kesehatan sesuai dengan prinsip ekuitas sehingga tidak ada warga negara yang kesulitan akses kesehatan karena terkendala biaya, dibentuklah sistem yang disebut dengan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Jaminan Kesehatan Nasional hadir dinaungi oleh penyelenggaranya yakni Badan Jaminan Sosial Nasional (BPJS) Kesehatan. JKN sudah dinilai berjalan selaras dengan 3 dimensi perlindungan yang meliputi UHC yakni perlindungan mendapatkan pelayanan kesehatan esensial ang bermutu sesuai dengan kebutuhan, perlindungan terhindar dari pengeluaran kesehatan yang katastropik, dan perlindungan layanan kesehatan untuk selutuh masyarakat.


Dalam proses penyelenggaraannya, terdapat banyak inovasi yang dibangun agar dapat memberikan pengalaman pelayanan kesehatan yang adil dan setara bagi seluruh peserta JKN sehingga dapat mencapai cita-citanya menjadi UHC. BPJS Kesehatan membangun upaya pelayan kesehatan yang adil dan setara salah satunya dengan melakukan penyetaraan kelas melalui kebijakan Kelas Rawat Inap Standar (KRIS). KRIS memiliki tujuan agar dapat memberikan manfaat pelayanan yang adil, setara, dan sesuai dengan kemampuan seluruh anggota JKN. Selain Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004, KRIS juga memiliki dasar hukum lain yakni pada Peraturan Presiden Nomor 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehan dan Peraturan Pemerintah Nomor 47 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Perumahsakitan. Menurut dasar hukum tersebut, KRIS direncanakan akan diimplementaskan secara menyeluruh pada awal tahun 2023 pada seluruh rumah sakit di Indonesia. Namun, pada realitanya, kebijakan ini tidak bisa dilaksanakan tepat waktu.


Sesuai dengan yang diamanatkan, masa transisi KRIS dilakukan secara bertahap. Hingga saat ini, KRIS sudah melewati 2 tahapan uji coba. Tahapan pertama dilakukan pada 4 rumah sakit kepemilikan Kementerian Kesehatan yakni RSUP Tadjuddin Chalid, RSUP J Leimena, RSUP Surakarta, dan RSUP Rivai Abdullah. Setelah tahapan uji coba pertama memberikan hasil yang baik, tahapan tersebut dilanjutkan kepada tahapan uji coba kedua yakni di 10 rumah sakit dengan variasi kepemilikan dan juga variasi kelas. Hasil sebetulnya membuktikan tidak adanya penurunan kepuasan masyarakat dan tidak berpengaruh pada tingkat Bed Occupancy Rate. Namun, hingga saat ini, dari 2939 rumah sakit di Indonesia yang sudah harus mengimplementasikan KRIS di Indonesia pada akhir tahun 2024, baru terdapat 756 rumah sakit yang siap atau sekitar 25,7% saja. Lalu apakah sebenarnya yang menjadi permasalahan kebijakan ini bisa terlambat proses pengimplementasiannya?


Dalam pengimplementasiannya, tentu rumah sakit perlu memenuhi beberapa kriteria. Terdapat 12 kriteria yang harus dipenuhi oleh rumah sakit. Kriteria tersebut antara lain adalah bahan bangunan di RS tidak memiliki porositas tinggi, harus memiliki ventilasi udara, pencahayaan ruangn yang baik, memiliki kelengkapan tempat tidur (minimal 2 stop kontak dan memiliki nurse call), memiliki satu buah nakas per tempat tidur, suhu ruangan di antara 20 hingga 26 derajat celcius dan kelembaban stabil, catatan pemabgain ruang per jenis kelamin, usia, jenis penyakit (infeksi, non-infeksi, bersalin, dan lain sebagainya), keadatan ruangan maksimal 4 tempat tidur per ruang rawat dengan jarak antar tempat tidur minimal sebesar 1,5 meter, memiliki tirai atau partisi tempat tidur dengan jarak 30 sentimeter dari lantai dengan panjang minimal 200 sentimeter dan bahan tidak berpori, kamar mandi sesuai dengan standar aksesibilitas, dan ada outlet oksigen.


Untuk memenuhi kriteria tersebut secara cepat, tentu tidak mudah bagi rumah sakit. Dalam diskusi publik yang dilaksanakan oleh BEM IM FKM UI 2023 (29/5), dr. Tri Hesty Widyastoeti, Sp.M, MPH, Sekretaris Umum Perhimpinan Rumahsakit Seluruh Indonesia (PERSI) menyebutkan bahwasanya rumah sakit memiliki tantangannya tersendiri seperti pembiayaan yang harus dilewati selama pemenuhan standar KRIS, pengurangan jumlah tempat tidur, sumber daya manusai kesehatan yang kurang, dan juga berbagai risiko keuangan lainnya. Dari data yang ditampilkan, rumah sakit juga masih mengalami kesulitan dalam memenuhi kriteria KRIS, khususnya pada kriteria 8 (kepadatan ruanga), kriteria 12 (outlet oksigen), kriteria 7 (ruangan terbagi sesuai dengan jenis kelamin, usia, dan jenis penyakit), kriteria 1 (bahan bangunan dengan porositas tinggi), kriteria 11 (kamar mandi dengan standar aksesibilitas), dan kriteria 9 (ketentuan tirai atau partisi).


Tak hanya rumah ssakit, BPJS Kesehatan pun memiliki kekhawatiran dalam proses implementasi KRIS. Kekhawatiran datang dari tidak adanya kepastian penetapan tarif dari adanya kelas standar ini. Hal ini tentu menjadi perhatian publik. Sejauh ini, besar iuran mengacu pada Peraturan Presiden Nomor 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan yang mana besaran iuran masih akan tetap sesuai dengan jenis kepesertaan program JKN hingga tahun 2024. Sejauh ini, kepesertaan dibagi menjadi beberapa jenis. Pertama adalah Penerima Bantuan Iuran (PBI) yang iurannya dibayarkan oleh pemerintah pusat dan juga daerah sesuai dengan kemampuan ekonomi tiap daerah, Pekerja Penerima Upah (PPU) atau pekerja formal yang iurannya diambil dari 5% dari upah, dan Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) serta Bukan Pekerja (BP) yang dibagi menjadi beberapa kelas yakni kelas 1, kelas 2, dan kelas 3.


BPJS Kesehatan menyebutkan, terdapat beberapa kemungkinan perpindahan jumlah pembiayaan khususnya pada PBPU. Jika PBPU digeser ke kelas yang lebih rendah, penurunan iuran yang mungkin terjadi dapat mencapai Rp958 M. Sedangkan jika menggunakan skenario tarif kelas 2 saat ini akan berdampak pada kenaikan sebesar Rp6,505 T dari spending dan jika menggunakan kelas antara yakni 2,5 (antara kelas 2 dan kelas 3), akan terjadi penurunan sebesar Rp2,14 T dari spending.


Berkaca dari berbagai permasalah di atas, satu hal yang pasti adalah ketidak pastian dari implementasi KRIS. Payung hukum yang menaungi KRIS saat ini sudah semestinya diperbaharui karena banyak perubahan yang telah dilalui. Pedoman pelaksanaan KRIS saat ini hanya berdasarkan Peta Jalan yang disediakan oleh Kementerian Kesehatan sebagai leading sector, bukan peraturan presiden sebagaimana yang telah diatur dan menjadi pedoman utama KRIS. Meski harmonisasi kebijakan tengah dilakukan antara kementerian dan lembaga sudah semestinya secara tegas pemerintah memastikan agar dasar hukum keluar dan menjadi pedoman implementasi. Dari kendala-kendala yang terjadi, perlu dilakukan perubahan segera agar cita-cita implementasi KRIS dapat terealisasi di tahun 2024 dan tidak mengalami keterlembatan lagi. Perlu banyak pertimbangan terkait perubahan dan relevansi dari peraturan yang tersedia.
Terdapat hal-hal yang dapat dilakukan pemerintah untuk menyelamatkan KRIS ke depannya seperti meberikan kepastian hukum akan implementasi KRIS, membangun fleksibilitas pada tiap-tiap rumah sakit mengingat tidak semua rumah sakit memiliki sumber daya yang sama dan menciptakan kebijakan yang berpeluang bagi rumah sakit untuk tumbuh dan tidak mengalami beban, dan terus melakukan evaluasi atas kebutuhan agar lebih realistis dan objektif dalam melakukan pemenuhan tata ulang sistem JKN agar seluruh pihak dapat bersinergi dan tumbuh bersama.

Referensi:
Ansyori, A. 2023. Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) JKN, Peluang, Tantangan, dan Pilihan Implementasi. Direktorat Jaminan Sosial Nasional Kementerian Sosial Republik Indonesia. Disampaikan dalam Diskusi Publik BEM IM FKM UI 2023 "Simpang Siur KRIS: Akankah Terealisasi?"
Astuty, I. 2023. Kesiapan Rumah Sakit dalam Implementasi Kelas Rawat Inap Standar Jaminan Kesehatan Nasional (KRIS JKN). Direktorat Pelayanan Kesehatan Rujukan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Disampaikan dalam Diskusi Publik BEM IM FKM UI 2023 "Simpang Siur KRIS: Akankah Terealisasi?"
Fardianto, A. 2023. Kelas Rawat Inap Standar: Penerapan Kelas Rawat Inap Standar dalam Perspektif Transformasi Mutu Layanan BPJS Kesehatan. BPJS Kesehatan. Disampaikan dalam Diskusi Publik BEM IM FKM UI 2023 "Simpang Siur KRIS: Akankah Terealisasi?"
Keputusan Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan Nomor HK.02.02/I/1811/2022 tentang Petunjuk Teknis Kesiapan Sarana Prasarana Rumah Sakit Dalam Penerapan Kelas Rawat Inap Standar Jaminan Kesehatan Nasional
Kristanto, A. 2023. Kelas 1-3 BPJS Kesehatan Dihapus Tahun ini, Berapa Iurannya?. CNBC News. Diakes melalui:
Ricardo, E. 2023. Ini Penampakan KRIS, Pengganti Kelas 1, 2, 3 BPJS Kesehatan. CNBC News. Diakses melalui:
Rachman, A. 2023. Konsep Ideal KRIS BPJS Versi Menkes: Satu Iuran, Satu Kelas. CNBC News. Diakses melalui:
Rachman, A. 2023. Membedah Kelas Standar BPJS Kesehatan, Pengganti Kelas 1, 2, 3!. CNBC News. Diakses melalui:
Rachman, A. 2023. Sistem kelas BPJS Segera Dihapus, Aturan KRIS Kok Mandek?. CNBC News. Diakses melalui:
Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2021 tentang Pennyelenggaraan Bidang Perumahsakitan
Peraturan Presiden Nomor 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehan
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional.
Widyastoeti, T. 2023. Kesiapan Rumh Sakit dalam Pemberlakukan Kelas Standar. Perhimpunan Rumahsakit Seluruh Indonesia. Disampaikan dalam Diskusi Publik BEM IM FKM UI 2023 "Simapng Siur KRIS: Akankah Terealisasi?"

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline