Lihat ke Halaman Asli

Jalan Menanjak dan Jalan Menurun

Diperbarui: 26 Juni 2015   07:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sore itu saya sedang duduk bersama budhe-budhe sambil mengamati sepupu kecil yang sedang belajar berjalan. Berulang kali kami dibuat geli dengan cara jalannya yang serupa orang yang telah renta, terbungkuk-bungkuk sambil sesekali limbung ke kanan dan ke kiri. Setelah cukup lancar menjelajah jalan yang rata, Rahma sepupu saya itu hendak menghampiri kami yang duduk di teras yang agak sedikit lebih tinggi dari jalan.

Saat menaiki jalan yang sedikit menanjak, Rahma tampak cukup tenang. Tapakan kakinya mantap dan sedikit cepat. Badannya pun justru tak limbung lagi. Tak berapa lama sampailah ia di hadapan kami, tegak, sambil tertawa-tawa sendiri. Kami pun tersenyum lega.

Beberapa lama bermain di hadapan kami, rupanya Rahma ingin kembali bergabung dengan kakaknya yang ada di jalan rata. Untuk itu ia harus kembali melewati jalan yang tidak rata dulu, yang kali ini arahnya adalah menurun. Sedikit cemas kami melihatnya berjalan perlahan, tampak sangat hati-hati. Sesekali tangannya terentang membentuk keseimbangan. Jelas ia merasa agak kesulitan dengan wajah yang sedikit tegang. Sesampainya ia di bawah, kami—tanpa sadar—saling tersenyum lebih lega…

Beberapa waktu kemudian, ketika mengingat sore itu kembali, saya tersenyum lagi. Jalan yang rata, jalan yang menanjak, dan jalan yang menurun; tak berbeda dengan keseharian kita dalam hidup ini. Seringkali kita dihadapkan pada jalan yang rata, setiap waktunya terasa biasa, datar, sejauh mengulang segala rutinitas. Di jalan rata, tenaga terasa tersimpan lebih awet. Doa kita panjatkan dalam intensitas sedang. Perasaan relatif lebih nyaman dan tenang.

Ada kalanya juga kita dihadapkan pada jalan yang menanjak. Pada ujian-ujian hidup yang membuat tangan kita tertadah lebih tinggi dan lebih kerap. Air mata bercucuran, sujud yang demikian dalam dan panjang. Perasaan yang begitu kerdil di hadapan Illahi Rabbi. Segenap tenaga kita curahkan untuk meniti tanjakan tersebut. Seperti langkah Rahma sepupu saya itu, pada tanjakan langkah kita cenderung terengah tetapi mantap. Ada tujuan yang sedang sungguh-sungguh hendak kita raih. Ada pengharapan yang menggantung di dekat ubun-ubun. Sekuat tenaga kita berusaha, di setiap saat kita selipkan doa…

Kadang pula kita dihadapkan dengan jalan yang berubah menurun. Ketika ingin kita telah teraih, ketika cita tergapai. Bibir tak lepas dari syukur, senyum mengembang indah. Namun seringkali pula saat itu kita menjadi lengah. Rinai syukur hanya sebatas di bibir, sekedar mengakui keagungan Illahi…tetapi mulai lupa menggunakan nikmat tersebut untuk lebih mendekatkan diri pada-Nya. Bukankah Allah sendiri pernah mengingatkan akan hamba-Nya yang lulus dengan baik atas ujian kesempitan tetapi jatuh terjungkal saat diuji dengan limpahan nikmat serta kemudahan?!

Sore itu, ketika melihat kehati-hatian Rahma meniti jalan menurun, saya juga seperti disadarkan kembali. Kewaspadaan lebih justru kita perlukan dalam menjalani segala kemudahan hidup. Ketika kesyukuran kita menuntut bukti tak hanya sekedar di lisan, ketika nikmat juga harus penuh kita sadari sebagai salah satu bentuk ujian. Semoga baik dalam kesempitan maupun kelapangan, mampu kita lalui dengan sebaik perjuangan…

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline