Sejak kapan Anda mengenal perpustakaan? Bagi yang dibesarkan di pelosok desa seperti saya, perpustakaan bermula hadir dalam ingatan saya saat menginjak SD. Hal paling kuat dalam memori saya perihal perpustakaan di masa itu adalah buku-buku tua, peta, bola dunia, dan ruang sempit yang sepi senyap.
Ketika beranjak ke SMP, wajah perpustakaan sedikit lebih baik. Ruangannya lebih luas, namun suasananya tetap saja lebih sering kosong melompong. Hanya seorang petugas (pustakawan) menjaganya yang karena tak ada aktivitas lebih terlihat seperti pemantau pintu gerbang perumahan.
Buku-bukunya sedikit lebih banyak. Tetapi, ada satu hal yang menjanggal dalam ingatan saya yakni adanya sebuah lemari bertajuk "buku referensi" yang tidak bebas kami jejali sebagai siswa. Padahal, di lemari itulah tampak beberapa buku bagus yang tebal-tebal terawat. Buku-buku itu ibarat gadis cantik dalam kurungan istana. Perawan tak terjama.
Saat di bangku SMA, suasana perpustakaan sekolah tidaklah berbeda. Walau ruangannya lebih luas dan pustakawan yang lebih dari satu orang--ruang perpustakaan hanyalah tempat alternatif bagi siswa. Selain karena buku-bukunya yang terbatas, perpustakaan belum dijadikan rumah belajar yang kondusif. Siswa yang kerapkali menghabiskan waktunya membaca di perpustakaan dapat dihitung jari.
Apa perpustakaan di kampus sedikit lebih baik? Pengalaman saya kuliah di perguruan tinggi negeri di Makassar pada awal tahun 2000-an, ruang perpustakaan kampus memang cukup lumayan.
Selain koleksi bukunya yang memadai, ruangannya juga sangat luas. Hanya saja pengunjung perpustakaan tidak seramai aktivitas mahasiswa di kantin.
Gedung perpustakaan yang besar perkasa itu belum berhasil merangsang animo mahasiswa. Pengelolaan perpustakaan sangat monoton sekadar pada membaca saja. Padahal, ruang perpustakaan kampus bisa disulap multi fungsi semisal ruang diskusi, akses informasi mutakhir, ruang kreatif, maupun ruang berkolaborasi gagasan.
Selain perustakaan universitas, ada pula perpustakaan di fakultas dan jurusan yang ruangannya lebih kecil. Tidak banyak buku-buku referensi yang tersedia di dalamnya, sebagian hanya berisi tumpukan skripsi alumni.
Lucunya, pada skripsi yang berseliweran itulah, banyak mahasiswa sering menghabiskan waktunya membaca dan menyalin skripsi karena sedang menyusun skripsi.
Pendeknya, tidak sedikit mahasiswa yang menulis skripsi dengan hanya menggunakan skripsi sebagai bahan literatur primer. Dari skripsilah, mereka mengutip penggalan narasi suatu literatur dan kemudian menyertakan daftar pustaka yang juga sebetulnya dikutip dari skripsi. Ini benar-benar sadis. Jadi, tidak sedikit yang mungkin jadi sarjana tanpa pernah membaca tuntas buku-buku tertentu setidaknya yang relevan dengan keilmuannya.
Begitulah ingatan saya tentang perpustakaan sejak SD hingga kuliah. Perpustakaan hanya dijadikan ruang singgah untuk melampiaskan kekosongan dan hari-hari yang tidak sibuk.