Lihat ke Halaman Asli

“The Mahuzes” dan Sesat Pikir Kebijakan Pangan Kita

Diperbarui: 3 April 2016   09:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

“The Mahuzes” adalah sebuah film dokumenter fenomenal tentang aksi perlawanan masyarakat suku Malind Papua terhadap invasi korporasi perkebunan karet. Film dokumenter yang diproduksi oleh Watchdoc Indonesia Biru ini menampilkan sejumlah sekuel, bagaimana masyarakat adat dengan tegas menolak “investasi”. Bagi mereka, investasi boleh saja masuk asal memberi keuntungan besar bagi warga dan tidak merugikan lingkungan dan kebudayaan.

Film berdurasi tiga puluh menit ini seolah mewakili gejolak masyarakat pedalaman di Indonesia. kita tahu ada ratusan sengketa tanah antara warga dan korporasi yang penyelesaiannya demikian rumit, tak berkesudahan. Di Sulawesi-Selatan misalnya, konflik warga suku Kajang dengan PT. Londsum telah menimbulkan banyak korban. Begitu pula yang terjadi antara masyarakat di Takalar Sulawesi-Selatan dengan sebuah perusahaan perkebunan tebu.

Sengketa kepemilikan tanah antara warga dengan korporasi seolah menjadi suatu masalah yang sulit terhindarkan. Sejauh ini, negara kerapkali gagal menjalankan peran “intermediery”, sehingga terkesan bahwa negara justru berpihak pada kapitalisme. Pada sisi yang lain, konflik dugaan pencemaran limbah industri menjadi problem tersendiri. Di Minahasa Selatan misalnya, konflik berkepanjangan terjadi antara warga yang “merasa” tercemari limbah perusahaan tambang asal Amerika. Sayangnya, melalui jalur peradilan hukum, tuntutan atas dugaan pencemaran dinyatakan tidak benar.

“The Mahuzes”, menggambarkan sikap masyarakat adat yang merasa tanahnya dirampas. Bagi warga adat di pedalaman Papua, tanah adalah pemberian Tuhan yang harus dilindungi dan dijaga kelestariannya demi keberlanjutan hidup. “Anak cucu kita mau makan apa kalau hutan rusak?” Pertanyaan itu seolah mewakili ketulusan nurani warga adat yang memang menghuni hutan secara turun-temurun.

Papua memang menjadi surga bagi investasi. Pada perut bumi Papua tersimpan beragam kekayaan alam yang besar. Potensi hutan yang masih perawan dan lahan luas menjadi incaran garapan para investor. Khususnya perkebunan kelapa sawit.

Sejak bergabung dengan Indonesia pada tahun 1979, sampai tahun 2005, di Papua baru ada tujuh perusahaan kelapa sawit. Data menunjukkan bahwa pada tahun 2014 jumlahnya bertambah hingga 21 perusahaan, dan 20 perusahaan lainnya yang sedang dalam tahap persiapan operasi. Bayangkan, berapa juta hektar hutan di sana yang telah dibabat demi menanam kelapa sawit. Kekecewaan masyarakat adat akibat eksploitasi hutan ibarat gunung api yang membumbung tinggi.

Dalam film “the Mahuzes” kemarahan warga itu ditunjukkan. Ada adegan, warga mengusir pekerja sebuah perusahaan yang sedang membabat hutan tanpa ampun. Saya sangat miris pula, ketika menyaksikan bagaimana masyarakat adat seolah tidak berdaya di depan investasi. Sebuah Patok bertuliskan pelarangan eksploitasi lahan yang dipasang masyarakat adat, dibuang begitu saja oleh perusahaan. Penghinaan besar yang terus memicu amarah. Apalagi saat warga menemukan sejumlah kayu-kayu khas Papua tumbang dan rata dengan tanah atas ulah perusahaan.

Anehnya, di tengah konflik sengit dan berkepanjangan antara masyarakat adat dengan sejumlah korporasi tersebut, Jakarta meluncurkan program “sawah satu juta juta hektar.” Program yang merupakan rangkaian dari apa yang disebut Merauke Integrated Food  and Energy Estate (MIFEE). Program ini dibuat dalam rangka menjadikan Papua sebagai lumbung pangan (beras) dan energi untuk kepentingan ekspor. Sebuah kebijakan yang mengingatkan kita pada “cultur stelsel” (1840-1870) di masa kolonial Belanda, di mana Jawa dan Sumatera dijadikan lahan perkebunan komoditi primadona dunia. Khususnya untuk produksi tebu, kopi dan karet.

Bagi masyarakat adat di Papua, makan beras bukanlah sebuah budaya mereka. Makan sagu adalah sesuatu yang paling istimewa. Selain murah-meriah, mengkonsumsi sagu juga ramah lingkungan. Perut warga pedalaman itu sudah terbiasa dengan sagu. Terlebih, dalam pikiran mereka, menggarap sawah membutuhkan tenaga dan biaya yang sangat besar. Untuk apa? Katanya. Toh juga alam menyediakan sumber makanan melimpah tanpa mengeluarkan biaya dalam merawatnya.

“The Mahuzes” membuka mata kita bahwa pemanfaatan sumber daya hutan di Papua haruslah sangat hati-hati. Perambahan lahan tidak bisa dilakukan secara bebas dan serampangan karena ada titik-titik tertentu yang tergolong tanah adat yang dilindungi oleh masyarakat. Bahkan, ada kawasan yang disebut “tanah keramat” yang sama sekali tidak boleh disentuh oleh siapa pun.

Pada dimensi yang lain, “memaksa” warga Papua untuk seluruhnya beralih bahan makanan pokok dari sagu ke beras adalah sebuah kejahatan budaya. Negara tidak boleh menggerus kebudayaan atas nama pembangunan dan aspirasi Jakarta. Justru sebaliknya, negara mestinya mendorong kearifan lokal (local wisdom) di tiap-tiap entitas budaya untuk bertumbuh dengan kekhasan dan potensinya masing-masing. Termasuk dalam hal, bahan makanan pokok.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline