"Orang Makassar yah?" kata seorang bapak tua kepada saya. Mungkin, pertanyaan itu diajukan setelah mendengar gaya berdiskusi saya dan rekan-rekan di sebuah warung sate kambing di kawasan Jakarta Pusat. "Iya pak," sambil tersenyum ramah, kami pun melanjutkan perbincangan ringan, sembari menunggu hidangan sate tiba.
"Bapak pernah ke Makassar?" kata saya. Bapak itu mengangguk dan mengatakan, betapa ia telah lama bermimpi bisa melancong ke Makassar, tapi belum bisa-bisa. "Suatu saat, saya mungkin akan ke sana," kata bapak itu bersemangat.
Walau belum pernah sekalipun ke Makassar, Sang bapak itu mengaku punya banyak kawan orang Makassar. "Orang Makassar bagus-bagus, rata-rata pemberani mas," katanya, sambil mencontohkan beberapa tokoh pesohor asal Makassar seperti Baharuddin Lopa, Jenderal Yusuf, hingga Abraham Samad. Ehhm, sang bapak itu agaknya sangat mengidolakan nama-nama tersebut, dan ia bercerita demikian antusias.
"Tapi, sayang yah, Makassar memiliki imej yang kurang baik di luar. Orang Makassar dikenal keras dan di kota Makassar identik dengan demo-demo dan banyak tindakan kriminal," lanjutnya. Saya hanya tersenyum ringan mendengarnya. Saya yakin bahwa sang bapak itu membutuhkan semacam klarifikasi dan penjelasan dari saya.
Pertama, saya katakan bahwa memang ada asumsi soal Makassar yang masyarakatnya keras. Tetapi, keras sesungguhnya hanya pada intonasi suaranya, mungkin. Watak orang Makassar sesungguhnya bukan kasar, tetapi tegas. Hee.....! Bapak itu mengangguk, mungkin pertanda setuju.
Kedua, soal demo-demo. Saya katakan bahwa mahasiswa Makassar memang sangat kritis terhadap segala hal, utamanya bila terkait dengan kebijakan negara yang tak berpihak. "Dulu waktu saya juga masih mahasiswa, demo hampir tiap hari pak," kata saya yang membuat sang bapak itu termanggut-manggut. Belum sempat saya angkat bicara, sang bapak itu menyelah, "tapi, demo-demo di Makassar masih murni mas, tidak kayak di sini (Jakarta: red) yang mayoritas sudah masuk angin mas," ucapnya sambil tertawa lirih.
Tapi, bagaimana soal begal yang konon juga marak? Untuk masalah satu ini, saya katakan bahwa bukan hanya Makassar saja, tapi hampir semua kota. "Begal ini memang merisaukan warga kota Pak. Bahkan, membuat wisatawan mengurungkan niatnya untuk berkunjung, tapi saya yakin, masalah ini akan segera teratasi Pak. Toh, aksi teroris saja bisa ditumpas, apalagi bila hanya begal," kelakar saya.
Hidangan sate kambing sudah datang. Kami menikmati makan malam dengan riuh kendaraan yang bising. Sambil makan, saya katakan, bahwa sebetulnya Makassar aman-aman saja. "Bapak harus ke Makassar, nanti bisa liat langsung pak kalau warga Makassar itu ramah-ramah. Sudah banyak kawan yang ke Makassar dan mulai yakin bahwa imej soal Makassar itu kasar, rupanya salah," begitu kata saya san sang Bapak pun mengangguk penasaran. Ia berterima kasih atas informasi positif yang saya jelaskan, "insyaallah suatu waktu saya ke Makassar mas," imbuhnya.
Sang bapak itu hanyalah sedikit diantara begitu banyak orang yang mempunyai asumsi negatif tentang Makassar. Asumsi miring itu tentu disimpulkan dari pemberitaan media massa. Faktanya, Makassar aman-aman saja! Namun, asumsi negatif itu pelan-pelan harus bisa dilenyapkan. Caranya? Semua kita warga Makassar haruslah menjalankan hidup dengan nilai-nilai budaya lokal kita yang selalu saling menghargai (sipakalabbi).
Ke depan, sumber-sumber informasi tentang kebudayaan Makassar harus ditransformasi lebih luas. Di samping itu, semua pihak terutama pemerintah kota, perlu membenahi konsep pariwisata dengan berbasis pada perkenalan nilai-nilai budaya. Jadi, tidak sekedar mengandalkan keindahan alam saja. Masyarakat pelaku wisata juga harus bisa menunjukkan perilaku yang ramah dan mengesankan, bagi siapa saja yang berkunjung ke Makassar.
Sambil menulis catatan ini, saya membaca ulasan berita di sejumlah portal lokal, bahwa Natal di Makassar berlangsung damai. Ini sesuatu hal yang menggembirakan, apalagi dalam beberapa minggu belakangan ini, kita semakin merasakan ada rasa aman di jalan raya saat berkendara di malam hari. Satu-satunya yang mengganggu kini adalah banjir, yang dalam istilah Walikota Makassar, Danny Pamanto, "genangan air".