Lihat ke Halaman Asli

UU PPLH No 32 tahun 2009: Tonggak Baru Keberlanjutan LH

Diperbarui: 26 Juni 2015   14:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hobi. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Ada banyak sekali problem Lingkungan Hidup (LH) di Indonesia yang tidak terselesaikan. Pada saat yang sama, krisis lingkungan semakin mengancam keberlanjutan alam-atas dasar itulah sesungguhnya mengapa diperlukan Undang-Undang (UU) LH yang lebih sempurna-itulah filosofi kelahiran UU PPLH No 32 tahun 2009.

(Ilyas Asaad, Deputi Menteri Lingkungan Hidup, bidang Penaatan lingkungan)

Dalam sejarahnya, UU Perlindungan Lingkungan Hidup (PLH) di Indonesia telah mengalami tiga kali fase evolusi; pertama, UU No. 4 tahun 1984 yang kemudian diganti dengan UU No. 23 tahun 1997, terakhir dan sekaligus menjadi isu paling strategis adalah UU No. 32 tahun 2009.

Mengapa perlu ada revisi UU PLH yang melahirkan UU No 32 tahun 2009? Ilyas Asaad, menuturkan bahwa argumen paling mendasar dari revisi tersebut adalah ketidakmampuan UU lama dalam menjawab berbagai problem LH di Indonesia. "Setelah dua belas tahun diberlakukan, kerusakan lingkungan masih dominan, begitu pula dengan kasus-kasus lingkungan yang tidak pernah bisa diselesaikan dengan baik", tegasnya.

Kementrian Lingkungan Hidup (KLH) melalui laporan Status Lingkungan Hidup Indonesia (SLHI) 2006 mencatat bahwa telah terjadi penurunan kualitas lingkungan hidup pada tahun 2006 disebabkan karena terjadi peningkatan polutan secara signifikan di media air dan udara. Selain itu, terjadi juga peningkatan kasus pencemaran limbah domestik dan limbah bahan berbahaya dan beracun (B3).

Data SLHI 2006 juga menunjukkan bahwa kerusakan lahan dan hutan di Indonesia telah mencapai 59,2 juta hektar dengan laju deforestasi sekitar 1,19 juta hektar per tahun. Percepatan pengurangan hutan yang tinggi ini memiliki efek yang signifikan terhadap keanekaragaman hayati dalam ekosistem hutan. Kerusakan lahan dan hutan secara umum disebabkan karena berbagai hal seperti kebakaran hutan dan lahan, illegal logging, perambahan lahan, konversi (alih fungsi) lahan dan kegiatan pertambangan.

Krisis lingkungan yang terus meningkat serta banyaknya sengketa LH yang berujung bebas menjadi preseden buruk yang mengancam eksistensi lingkungan dan manusia. Salah satu problem mendasar adalah lemahnya konstitusi hukum yang berdampak pada penaatan lingkungan yang rendah. Selain penguatan institusi maupun kordinasi antar lembaga terkait yang mesti dilakukan, ternyata diperlukan penguatan rule of the game yang bisa mengatur seluruh persoalan lingkungan.

UU No 23 tahun 2009 menjadi harapan baru bagi keberlanjutan lingkungan hidup. Penguatan dan idealisme UU baru tersebut sesungguhnya sangat berdasar secara filosofis dan sangat tidak berlebihan apalagi politis. Dalam UU Dasar 1945 Pasal 28 ayat (1) menyebutkan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Amanah UU 1945 tersebut jelas memandang bahwa kebutuhan mendapatkan lingkungan yang sehat adalah salah satu hak asasi. Negara berkewajiban memberi perlindungan dan jaminan lingkungan sehat, oleh sebab itu negara harus memiliki otoritas kuat dalam mengelola dan melindungi LH.

Pasal 33 ayat (1) semakin menegaskan bahwa perekonomian nasional diselenggarakan berdasarkan atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi-berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.

Dasar hukum tersebut di atas jelas menginspirasi betapa perlunya negara membuat aturan yang kompleks yang berorientasi jangka panjang. Sejak tanggal 3 Oktober 2009, Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (PLH) telah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi, yang kemudian digantikan dengan hadirnya Undang-Undang No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH).

Undang-undang ini terdiri dari 17 bab dan 127 pasal yang mengatur secara lebih menyeluruh tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Perbedaan mendasar kedua UU tersebut adalah adanya penguatan yang terdapat dalam Undang-Undang 32 tahun 2009 tentang prinsip-prinsip perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang didasarkan pada tata kelola pemerintahan yang baik karena dalam setiap proses perumusan dan penerapan instrumen pencegahan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup serta penanggulangan dan penegakan hukum mewajibkan pengintegrasian aspek transparansi, partisipasi, akuntabilitas, dan keadilan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline