Lihat ke Halaman Asli

Jeffalin Milka: Mendonasi Taman Marga Satwa Secara Swadaya

Diperbarui: 17 Juni 2015   10:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

“Satwa- satwa di Taman itu sudah kami anggap sebagai keluarga kami sendiri. Mereka juga seperti manusia berhak mendapatkan kehidupan dan keberlanjutan generasi. Tapi yang menyedihkan adalah ketika saya menemukan di jalanan ada tindakan jual-beli satwa langka secara bebas.”

--Jeffalin Milka--

Jeffalin Milka (66), menerima penghargaan Kalpataru pada tahun 1994 sebagai perintis lingkungan. Perempuan berdarah Sanger Talaud (Sebuah daerah perbatasan Indonesia-Philifina) tersebut bersama suaminya, Imam Sulisman (80), kebetulan punya hoby yang serupa yakni kecintaan pada satwa. “Kami adalah keluarga yang turun temurun sebagai pencinta satwa, bagi kami binatang-binatang itu sudah seperti keluarga kami sendiri,” tuturnya.

Taman Marga Satwa Tandurusa yang terletak di Air Tembaga Bitung—di sanalah Milka melewati hari-harinya bersama suaminya. Perempuan yang dahulu berprofesi sebagai pengacara ini, mengaku sangat bahagia bisa hidup berdampingan dengan lebih dari 50 jenis satwa tangkarannya.

Tahun 1979, Milka bersama keluarganya mulai membuka taman Marga Satwa di atas lahan miliknya seluas 10 Hektar. Lahan yang strategis karena terletak persis di pesisir laut tersebut, memang punya pesona tersendiri dan sangat nyaman bagi keberlangsungan hidup satwa di dalamnya.

Awalnya, Milka hanya mengoleksi satwa jenis rusa. Waktu itu Milka bersama suaminya sedang melintas di sebuah perkampungan di Tandurusa. Di sana, ia menemukan seekor rusa yang terluka akibat terkena tembakan warga. Milka sangat terpukul melihat kejadian tersebut, ia pun meminta kepada warga agar rusa tersebut dapat dirawat olehnya. “Sebagai gantinya, saya waktu itu menawarkan seekor sapi kebetulan saya punya sapi. Dan mereka (warga) mau menerima tawaran saya. Jadi rusa itu pun saya pelihara sampai berkembang biak, sebelum akhirnya meninggal,” ungkapnya.

Perempuan ramah yang hoby membaca buku tersebut, kemudian terus menambah koleksi satwanya yaitu burung merpati hutan (orang Manado biasa menyebutnya kumkum). Kini, sudah berkembang lebih banyak lagi, setidaknya terdapat 35 Jenis burung ada di taman itu dintaranya; ada kakatua berjambul merah, kakatua berjambul kuning, malewo maupun termuhu (burung yang mulai langka di Manado).

Selain itu terdapat juga satwa khas yang mungkin hanya bisa ditemukan di Sulawesi Utara yakni tarsius spectrum, orang Manado menyebutnya Tangkasi. Satwa unik dan dikenal karena kesetiannya pada pasangannya itu memang menjadi pusat perhatian semua pengunjung.

Terdapat pula satwa liar seperti ular, monyet, bahkan buaya. Milka mengaku sudah sangat bersahabat dengan satwa liar itu termasuk dengan buaya dan ular. “Buaya dan ular bahkan sudah sangat mengenal kami, jadi sama sekali tidak berbahaya. Yang berbahaya justru monyet, karena kalau tidak berhati-hati, monyet-monyet itu bisa menyerang siapa saja secara tiba-tiba,” ungkapnya tertawa.

Merawat Satwa Murni Biaya Sendiri

Tidak banyak orang yang bersedia menghibahkan hartanya demi lingkungan dan keberlangsungan hidup satwa. Pada tahun 2004, Jeffalin Milka kemudian diapresiasi oleh pemerintah dengan penghargaan Satia Lencana. Secara pribadi, dirinya sangat berterima kasih atas penghargaan itu. Paling tidak, kata Milka, dapat memacu semangatnya untuk terus memberikan yang terbaik pada lingkungan.

Sayangnya, ibu dari Superman Boy (45) ini mengaku sama sekali tidak pernah mendapatkan support pendanaan dari pihak mana pun termasuk dari pemerintah. “Kalau janji-janji manis banyak sekali. Tapi semua berlalu begitu saja tidak ada realisasinya, jadi saya tidak terlalu berharap banyak,” katanya.

Bayangkan saja, dalam hal perawatan satwa di taman miliknya itu, ia mempekerjakan sepuluh orang karyawan. Biaya yang dikeluarkan untuk karyawan memang lumayan besar, tetapi itu belum seberapa, dibandingkan makanan dari satwa dan biaya perawatan taman. Milka rela merogoh kocek sekitar 30 juta perbulan. Dari mana sumber pendanaan itu? Perempuan yang digelari Mantan Presiden Soeharto ini sebagai “Sarjana Hutan”, mengaku menggunakan biaya sendiri.

“Kami harus membiayai sendiri dari tabungan keluarga, serta pendapatan saya dari kebun kelapa dan dermaga milik keluarga. Kadang-kadang anak-anak juga membantu. Semua kami ikhlaskan karena kecintaan terhadap satwa,” jelasnya.

Memang penghasilan dari pemasukan bea masuk ke taman satwa itu tidak bisa diandalkan. Pasalnya, penjaga taman hanya membebani pengunjung sekitar Rp. 50.000 saja per mobil bahkan kadang kurang dari itu.

Jumlahnya kalau dikalkulasi tentu lebih besar pasak daripada tiang. Apalagi, dalam sebulan jumlah pengunjung sangat tidak stabil. Pada hari-hari libur saja, jumlahnya tidak seberapa. Menurut Milka, persoalan kita memang pada kecintaan dan perhatian masyarakat yang masih rendah pada satwa.

Itulah sebabnya, Milka menyarankan kepada pemerintah melalui instansi terkait agar mengkampanyekan secara intens betapa pentingnya merawat satwa. “Banyak jenis satwa kita yang terancam punah. Kalau tidak diselamatkan, kita akan kehilangan banyak sumber kekayaan alam. Yang membuat saya sedih karena seringkali saya menemukan ada satwa dilindungi yang justru diperjualbelikan di jalanan, tanpa ada sanksi tegas dari pemerintah,” keluhnya.

Taman Satwa miliknya itu diharapkan dapat menjadi tempat belajar bagi generasi muda, anak-anak sekolah terutama, juga bagi para peneliti. Dengan demikian, kecintaan masyarakat pada satwa terus tercipta. “Generasi muda harus punya pengetahuan terhadap satwa, sehingga mereka dapat mencintai dan memperhatikannya,” ujarnya.

Sore itu, kami diajak mengenali satu persatu satwa tangkarannya. Pepohonan rindang dan siul-siul beragam jenis burung cukup menenangkan pikiran. Satwa-satwa yang hidup di taman itu memang seolah menyambut siapa pun yang datang, mereka sangat bersahabat.

Jeffalin Milka, selalu merasa damai hidup berdampingan dengan satwa itu. Makanya, di sebelahnya ia membangun rumah tinggal yang demikian asri. “Sampai kapan pun kami akan terus menjaganya, banyak yang ingin membeli tempat ini, tapi ibu tidak bisa dibeli dengan uang,” tuturnya dengan wajah tegas.

Kami pun dipersilahkan memotret di sana, termasuk menikmati senja di sore yang istimewa. Menikmati udara segar dan kicauan sendu burung-burung berbulu menawan.(AK)

Nama Lengkap: Jeffalin Milka, SH

Tanggal lahir: tahun 1948 (66 tahun)

Pendidikan terakhir: S1 Sarjana Hukum

Nama suami: Imam Sulisman (88 tahun)

Pekerjaan: Pemilik Taman Marga Satwa tandurusa

Nama Anak: 1. Mery Angraeny (46)

2. Superman Boy (45)

Penghargaan: 1. Penerima Kalpataru bidang perintis Lingkungan 1997

2. Penghargaan Satya Lencana 2004

(Artikel ini adalah reportase saya di Bitung bertemu dan berdiskusi dengan Ibu Jeffalin Milka di medio 2014)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline