Lihat ke Halaman Asli

Bola Panas di Kementerian Pertanian

Diperbarui: 17 Juni 2015   12:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Akhirnya wacana resuffle di Kabinet Kerja Jokowi-JK memanas juga. Ada dua pos kementerian yang paling jadi sorotan, yaitu Kementerian LH dan Kehutanan dan Kementerian Pertanian.

Kementerian Pertanian paling santer jadi perhatian publik. Wacana resuffle Menteri, Amran Sulaiman mulai bergulir dalam beberapa pekan terakhir. Wacana ini menguat setelah Amran Sulaiman dinilai tidak melakukan terobosan konkret dalam membangun pertanian di Indonesia. Salah satu yang jadi tuntutan besar di Kementerian Pertanian adalah swasembada pangan nasional. Publik mengharapkan, Indonesia sebagai negeri agraris semestinya tidak impor beras lagi. Bahkan, bila perlu sudah saatnya, Indonesia mengekspor beras ke luar negeri.

***

Sebenarnya apa yang kurang dengan dunia pertanian kita? Bukankah bangsa ini dikaruniahi tanah yang subur yang konon tongkat kayu pun bisa jadi tanaman. Kita memiliki sungai-sungai yang mengalir tanpa henti di semua daerah, sawah yang luas menghampar sehingga sejak kanak-kanak pun inspirasi melukis kita selalu tentang gugusan sawah nan hijau.

Kita memiliki segala potensi alam yang dibutuhkan. Menurut saya persoalan di bidang pertanian tidak rumit seandainya Pak Menteri setiap saat turun ke sawah. Mampir ke rumah-rumah petani, mendengarkan keluh kesah mereka.

Sebagai anak petani, saya merasakan betul, betapa kehidupan petani belum sepenuhnya bisa sejahtera. Hasil yang diperoleh setiap kali panen sekedar buat makan. Petani yang akan menjual padi misalnya harus menggigit jari karena permainan harga yang mencekik. Namun, demi membeli pupuk dan memenuhi kebutuhan sehari-hari, para petani terpaksa menjual padi walau dengan harga murah.

Sementara biaya produksi pengelolaan sawah semakin tinggi. Ongkos sewa traktor yang mahal, pupuk yang tak terbeli, jasa penanam padi, biaya perawatan, dan lain-lain. Kalau dikalkulasi antara modal produksi dengan hasil yang didapat, amatlah nihil. Bahkan kadang rugi. Tapi para petani termasuk di kampung saya tidak pernah menyerah, sebagian di antara mereka bertahan karena kecintaan pada dunia pertanian.

Walau demikian, profesi bertani semakin tidak diminati oleh generasi muda. Dulu, di masa kanak-kanak saya di kampung, sepulang bahkan sebelum berangkat sekolah, anak-anak akan bergelut dulu di sawah atau di ladang. Mengurusi hewan ternak atau mengecek sirkulasi air di sawah. Sekarang ini semakin jarang kita melihat anak-anak yang membantu orang tuanya di sawah.

Sejak kecil anak-anak jaman sekarang sudah didoktrin untuk hidup enak dan bermimpi yang tinggi-tinggi. Bercita-cita jadi model, guru, pegawai, atau karyawan. Mana pernah kita mendengar ada orang tua yang mendidik anaknya agar kelak jadi petani. Tidak ada kan?

Makanya, kalau kita ke desa-desa, kita akan berjumpa dengan petani yang usianya sudah tua-tua. Jumlahnya juga sangat sedikit. Saya ingat di masa kecil, sebelum matahari terbit para petani akan bertemu seperti forum diskusi yang ramai. Mereka bicara soal banyak hal dan terutama soal tanaman mereka.

Tanpa disadari, sebagian petani yang merasa perlu berubah nasib, akhirnya memutuskan untuk beralih profesi jadi pedagang atau menjadi TKI ilegal di Malaysia. Tidak sedikit yang menjual sawah dan ladang mereka pada orang-orang kota yang berduit. Sawah-sawah yang berada di pinggir jalan misalnya pelan-pelan jadi rumah-rumah padat. Lokasi persawahan pun semakin sempit dari waktu ke waktu.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline