Lihat ke Halaman Asli

Perempuan yang Menjahit Bibirnya

Diperbarui: 17 Juni 2015   12:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Kabar tentang seorang perempuan yang menjahit bibirnya terdengar sudah seantero kampung Semode. Perempuan lima puluh tujuh tahun itu kini harus sembunyi. Menyusuri bukit-bukit dan kelokan sungai, melintasi waktu. Maryama! Sejak kabar menggemparkan tentangnya, namanya telah berganti berkali-kali. Subaidah, Marhumah, Marsina, dan beberapa nama lagi. Ini dilakukan demi penyamaran, agar tak ada yang mencium jejaknya. Ia ingin dirinya segera lenyap dalam kepala manusia.

Maryama tak pernah tinggal berlama-lama di tempat manapun. Sebulan-dua bulan, ia harus berkelabat lagi laksana seekor ular yang senyap meninggalkan sarangnya. Apa boleh buat? Ia tentu tak ingin diendus sebagai Maryama eks TKW Arab Saudi yang nyaris dihukum mati lantaran dituduh mencuri uang majikannya. Maryama, perempuan yang pernah diperkosa beramai-ramai oleh tetangganya. Maryama, perempuan yang pernah terlilit utang rentenir gara-gara terbelit uang sekolah dua anak perempuannya. Maryama, perempuan yang suaminya entah dimana setelah digugatnya cerai karena ketahuan beristri sembilan. Dan, saat usianya mendekati senja, kisah Maryama semakin gempar karena menjahit bibirnya.

“Mengapa ia harus menjahit bibirnya?”

“Mengapa hanya menjahit bibirnya? Mengapa tidak bunuh diri saja sekalian?”

“Mengapa ia harus menghilang setelah menjahit bibirnya?”

Begitulah pertanyaan-pertanyaan warga Semode yang keluar seperti asap bergelayutan. Pertanyaan-pertanyaan itu tidak pernah melahirkan suatu jawaban yang paling bisa diyakini kebenarannya. Hanya ada jawaban ilusif dari orang-orang yang iseng membayangkan bagaimana rangkaian kisah hidup Maryama selama ini. Dan karena itu pulalah jawaban-jawaban itu terkadang menjadi tidak masuk akal, bahkan berlebih-lebihan.

“Mungkinkah karena ia lelah, selama bertahun-tahun memunajat doa pada Tuhannya. Dan karena hidupnya terus saja dirundung kemalangan, ia menjahit bibir yang mungkin dianggapnya tak bertuah itu,” kata seorang anak muda dengan wajah yang terkesan serius.

“Atau mungkinkah ia ingin menyampaikan pesan philosofis pada dunia bahwa sumber segala persoalan di muka bumi ini selalu bermula dari mulut. Yah mulut! Tapi, jika itu pesannya, mengapa ia justru tak menjahit kelaminnya, sebab sumber konflik manusia di muka bumi menurut saya justru adalah kelamin. Yah kelamin!” demikian komentar seorang seniman yang sempat diposting di sebuah berita surat kabar.

“Maryama tidak ingin menjadi orang-orang kebanyakan yang dengan mudah mengobral kenangan. Masa lalu. Kegetiran-kegetiran. Juga impian-impian. Tragedi hidup maupun rahasia-rahasia. Kepada siapa pun juga bahkan tidak kepada rumput yang bergoyang sekalipun,” kata Warsida anak pertamanya yang memang berpuluh-puluh tahun tidak serumah dengan ibunya sejak terus melanjutkan kuliah di kota.

“Ibu sebetulnya hanya sering bercerita pada Winarsih adikku.”

“Winarsih?” kataku kaget. Hari itu, sore agak kemuning, senja menjelang. Anginnya dingin dan dunia kurasakan demikian mencekam. Aku dan Warsidah berjalan sekitar seratus meter dari belakang rumahnya. Persis di dekat sebuah kandang ternak milik tetangganya. Riuh suara ayam berkokok mulai membising. Aku melihat sebentuk kandang ayam yang dindingnya hanya bambu yang disilang-silang. Atapnya dari tenda berwarna biru bocor-bocor. Winarsih di sana. Matanya menyala seperti serigala yang hendak menyerang mangsanya. Rambutnya panjang tipis terurai. Tubuhnya kering kurus dengan kedua tangan yang selalu menengadah seperti terus berdoa pada Tuhan. Winarsih dipasung.

Senja akhirnya tenggelam. Warsidah mengecup kening adiknya setelah mensuapi roti dan minuman yang kami bawah dari kota. Winarsih menghabiskan segala rupa itu dengan lahapnya. Mungkin karena sekian lama tidak pernah menikmati minum dan makan selezat itu. Winarsih memeluk adiknya sebelum kami beranjak dari tempat dengan bau yang menyengat itu. Malam segera datang, kunang-kunang bermunculan seperti memberi sedikit cahaya pada kehidupan Winarsih. Lampu lima watt terlampau remang untuk masa depan seorang anak perempuan yang sangat mencintai ibunya.

Angin malam menusuk-nusuk hingga ke jantung. Gigil menyerang kami meski ditemani teh panas di rumah Pak Munir paman Warsidah. Hanya adik kandung satu-satunya Maryamah itulah yang mengurusi Winarsih, sambil menjaga sisa-sisa kenangan keluarganya. Sebuah rumah tak terawat beserta isinya. Dan tentu sejumlah tragedi di dalamnya.

Kampung Samode yang subur itu sedang kemarau berkepanjangan. Sudah hampir setahun lamanya, hujan turun hanya sesekali malu-malu, lalu panas lagi. Tanah yang subur di kampung Samode pun akhirnya tidak berdaya. Itu terlihat dari banyaknya tanaman seperti cengkeh, merica, cokelat yang mati mengering. Kehidupan petani mulai paceklik dan karena itulah banyak rumah-rumah yang ditinggal kosong melompong. Para penghuninya melancong ke Malaysia.

“Padi yang dipanen kerdil tiada berisi. Para petani mulai merasakan betapa sepuluh tahun lalu justru jauh lebih baik dari sekarang. Entah musim apakah namanya? Ini sudah mau masuk january lagi. Nenek moyang kami dulu percaya bahwa hujan pasti akan turun di bulanseptembere, oktobere, novembere, januere, februere. Semua bulan yang berakhir dengan bunyi ere yang artinya air pasti akan turun hujan. Tetapi sekarang tidak lagi, setidaknya dalam sepuluh tahun terakhir, musim secara beruntun dari tahun ke tahun tidak teratur lagi,”cerita Pak Munir setidaknya membuat kami betah dan tak menyadari betapa malam menjelang larut.

“Kapan kamu menyelesaikan kuliahmu dan segera berlama-lama di kampung?” Pak Munir mengalihkan perhatian dengan bertanya pada Warsidah. Mata lelaki itu spontan berkaca-kaca. Ia memegangi tangan Warsidah dengan nada suara begitu sesak.

“Secepatnya puang setelah semua urusan saya selesai di kota”

“Bila sudah menetap berlama-lama di sini jangan lupa memperbaiki kuburan ibumu. Dan rumahmu itu harus tetap kau rawat kalau perlu diperbaiki. Semoga saja kamu dilimpahi rezeki berlimpah, sehingga kelak bisa membawa adikmu berobat agar kembali sembuh seperti dulu.” Ucap Pak Munir, kali ini suaranya sudah semakin berat. Dan sebelum kami beranjak dari rumahnya, lelaki yang juga mulai rentah itu hanya berkata “semoga kalian berjodoh.”

Kami meninggalkan kampung Samode. Membelah jalan dengan pepohonan meranggas berdaun layu. Ini kali pertama, aku mengunjungi langsung kampung Warsidah, kekasihku itu. Dan inilah kali kedua Warsidah mengunjungi kampungnya sejak kabar kemalangan ibunya terdengar olehnya.

Hujan deras ada di mata Warsidah. Mengucur membasahi seluruh wajahnya. Sembab membanjiri tangannya yang menopang dagunya. Pandangannya beku entah memikirkan apa. Aku tetap saja fokus menyetir mobil selaju mungkin, bergegas meninggalkan jalan sunyi.Setidaknya agar segera melwati jejak kampung kelam itu.

Hingga tiba di kota, kami tidak lagi bercerita apa pun. Kecuali renung yang seperti membuntuti kami. Malam bising dengan orang-orang yang riuh ramai seperti tidak pernah menikmati tidur malam. Aku melihat langkah kaki Warsidah demikian lambat menyusuri pekarangan rumahnya. Kulihat ia berjalan gontai membuka pintu. Masuk melintasi pintu depan, lalu menguncinya dari dalam tanpa pamitan padaku. Sebuah malam tak biasa, meski Warsidah tidak pernah mengajakku masuk ke rumah yang konon dikontraknya itu. Tetapi, di dekat pagar rumahnya persis di bawah pohon mangga, selalu ada ciuman genit dan pelukan empuk yang aku anggap sebagai percumbuan yang tidak pernah tuntas.

***

Tiga hari setelah malam itu, kami tidak pernah bertemu dan saling menghubungi lagi meski via handphone. Tak ada yang perlu dikhawatirkan. Warsidah barangkali memang perlu waktu untuk melenyapkan rasa sakit dalam hatinya. Terutama karena sesosok jasad tinggal tulang yang diyakini warga kampung Samode sebagai tubuh Maryama. Lalu, harapan bahwa Maryama kelak akan kembali ke rumahnya, cepat atau lambat tidak terwujud. Jasad itu telah mengakhiri perdebatan soal kemana gerangan Maryama setelah terus bersembunyi dari rasa malu setelah menjahit bibirnya. Maryama mati.

Tetapi, Warsidah tidak percaya. Dan teka-teki itulah yang semakin membuatnya terpukul. Pesan pamannya agar memperbaiki kuburan ibunya tidak akan pernah dilakukan. Sebab, dalam mata bathinnya, bukanlah jasad ibunya yang berkubang di dalamnya. Ibunya masih ada dimana-mana, masih bertahan hidup. Dan mungkin selama-lamanya. Mungkin dengan nama-nama lain; Enggel, Juliet, atau Laila.

Dan empat hari setelah malam itu, kami bertemu. Warsidah memperlihatkan aku sebuah SMS Winarsih adiknya beberapa tahun silam. Mungkin sebelum ibunya pergi entah kemana dan sebelum penyakit jiwa menyerang adiknya itu: aku melihat ibu sedang menjahit bibirnya. Jarum dan benang terutas ke atas dan ke bawah. Pelan. Darah melenting ke lantai. Tapi ibu tetap saja tersenyum.

“Aku pikir SMS itu hanya iseng saja, makanya aku hanya tertawa membacanya. Ibu memang pernah bicara denganku bahwa ia kebanjiran pesanan jahitan. Dan dengan begitu, ia bisa mengirimkan uang setiap saat untuk biaya kuliahku. Ibu tak sekalipun menunjukkan penderitaan padaku,” kata Warsidah. Air mata menggenang hingga di bibirnya. Rasa sakit menyesaki dadanya, padahal ia tidak sedang menjahit bibirnya laksana ibunya.

Makassa-Jakarta, 2003-2014

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline