Oleh : Ani Siti Rohani
Ini bukan pertama kalinya. Aku pasti tidak salah lihat. Lelaki itu, aku kenal betul bagaimana wajahnya, bentuk tubuhnya. Lalu bagaimana mungkin wanita anggun di hadapanku ini selalu mengelak bahwa yang kulihat bukan Mas Ardi, kakak kandungku sendiri.
"Kamu pasti salah lihat Rasti, Mas Ardi enggak mungkin begitu," ucapnya tak memandang sedikit pun raut kekhawatiranku.
"Mbak, sebenarnya apa yang terjadi? Ada apa dengan kalian? Aku yakin betul yang kulihat sore tadi atau kemarin-kemarin adalah Mas Ardi," balasku mencoba meyakinkan.
"Sudahlah Rasti. Kamu ini kan adiknya Mas Ardi, seharusnya kamu tahu kalau Mas Ardi tidak mungkin melakukan hal seperti itu," ucapnya dengan lembut, menggenggam jemariku.
Rasanya percuma bila kukatakan seribu kali pun Mbak Riana tidak akan percaya padaku. Aku sendiri tak pernah ingin mempercayai itu. Tapi dengan jelas aku melihat semua. Tidak hanya sekali tapi berkali-kali. Bagaimana mungkin aku salah?
Seperti hari-hari kemarin, aku mengalah. Aku memutuskan pergi dan mencoba mempercayai bahwa aku yang salah mengenali. Tidak, barangkali aku bisa menemukan bukti yang lebih meyakinkan. Bagaimana bisa aku berbuat seperti ini? Mas Ardi itu kakak kandungmu, Rasti!
Mentari menenggelamkan diri. Gelap alam meninggalkan sunyi. Aku, masih dengan ketidakpercayaanku, masih dengan kecurigaanku menyusuri jalan mengusir kebingungan.
Pernikahan mereka sudah berlangsung selama kurang lebih 5 tahun. Aku iri dengan kebahagiaan mereka. Mereka pasangan yang sangat serasi. Mas Ardi lelaki yang baik, penyayang, perhatian.
Mbak Riana wanita yang lembut, setia, baik, penurut. Ya, aku selalu iri padanya. Karena ia seorang wanita yang penyabar, penuh kasih sayang. Sedangkan aku, ah siapa lah aku. Hanya seorang wanita keras kepala yang sampai saat ini masih belum menemukan sosok suami yang mendampingi. Aku terlalu banyak memilih. Begitu ibuku sering menasihati.
Aku selalu ingin mendapatkan yang seperti ayah, seperti Mas Ardi yang setia hanya pada satu istri. Masa laluku barangkali telah menyisakan trauma yang berlebih. Dua kali aku gagal menikah karena calonku berpaling dengan wanita lain. Benar, barangkali memang mereka bukan jodohku makanya Tuhan selalu menggagalkan. Tapi karena itu pula aku selalu khawatir, selalu khawatir ditinggal pergi atau bahkan diduakan sekalipun aku telah menikah. Pikirku berlebihan. Padahal aku tahu betul tidak semua lelaki demikian.